Akibatnya saya sulit berkonsentrasi di kelas saking terus merasa waswas. Bahkan beliau tidak segan-segan berkomentar "Kalau kalian seperti ini terus, pasti kalian tidak bisa lulus Ujian Nasional" yang justru semakin membuat saya dan teman-teman lain yang senasib, merasa semakin down dan ketakutan.
Kalau guru matematika saya terkenal killer, lain halnya dengan guru fisika. Alih-alih killer, beliau justru terkenal sebagai guru yang terkenal suka guyon alias bercanda. Ibarat gayung bersambut, beliau paling gampang terpancing jika diajak ngobrol ngalor-ngidul oleh teman-teman saat di kelas.
Akibatnya dari total 90 menit pelajaran, separuhnya habis dengan tawa dan canda. Saya yang kebetulan logika fisika-nya tidak terlalu 'sampai', akhirnya semakin 'tidak sampai'.
Alhasil saat ulangan (ujian mingguan), saya (hampir selalu) hanya mampu menulis tiga komponen jawaban dasar khas fisika berupa 'Diketahui, Ditanya dan Rumus' tanpa menyelesaikan jawabannya. Atau bahkan menuliskan jawabannya tanpa bisa menjabarkan alurnya!
Dengan demikian setiap kali ulangan matematika dan fisika, saya juga hampir selalu menjadi langganan peserta 'her'Â (ulangan perbaikan / remedial). Miris banget kan, peserta kelas IPA tapi selalu ikut her. Pokoknya pada masa itu, kalau sudah dapat nilai minimal sebagai syarat tidak ikut her, rasanya senang luar biasa!
Oleh sebab itulah saya sempat beberapa kali merasa salah jurusan dan menyesal masuk ke kelas IPA. Sering kali saya bertanya-tanya, mengapa pula saat itu saya sok-sokan masuk kelas IPA padahal saya sadar betul kemampuan eksak saya tidak sebaik kemampuan menghafal.Namun karena gengsi serta terlalu berpegang pada kemampuan di bidang Biologi dan Kimia saja, saya hampir 'jatuh' karena Fisika dan Matematika.Â
Saya bahkan merasa agak iri dengan teman-teman lainnya karena mereka kelihatannya tidak merasakan kesulitan dan ketakutan yang sama besarnya dengan saya. Ya betul, saya ketakutan!
Mengalami Titik Terendah
Puncaknya adalah ketika saya dan beberapa teman lain dipanggil oleh guru BP gara-gara hasil Try Out yang jelek. Kami mendapat peringatan bahwa jika tidak ada perubahan, kami terancam tidak lulus Ujian Nasional (UN). Sebagai informasi, pada masa itu UN masih menjadi salah satu komponen utama dalam penentuan kelulusan siswa.
Bukan main takutnya saya waktu itu. Tidak terbayang bagaimana malu dan kecewanya orangtua saya nanti jika anaknya tidak lulus UN. Apalagi biaya sekolah saya waktu itu lumayan mahal alias menguras kantong dan tenaga orangtua, karena sekolah saya adalah Yayasan Katolik.
Saya semakin tidak tega pada orangtua saya, kalau biaya sekolah sebanyak itu terbuang sia-sia jika saya tidak lulus UN. Belum lagi gunjingan yang pasti muncul di kalangan keluarga, mengingat pendidikan menjadi salah satu faktor penting yang diutamakan dalam keluarga saya yang notabene adalah orang Batak.