Kadang bukan hanya bangunannya yang besar, tapi juga tanah tempat makam atau tugu tersebut dibangun lumayan luas, diberi pagar serta ditanami rumput hijau yang tingginya selalu terawat.
Sejujurnya kunjungan kali itu agak saya paksakan untuk menghadiri acara syukuran atas pembangunan rumah pendamping di belakang Jabu Bolon (rumah adat Batak) peninggalan Ompung Hutahaean (marga dari pihak Mama).Â
Dan karena ternyata banyak sanak saudara saya yang ikut dari berbagai daerah perantauan, mulai dari Jabodetabek, Kalimantan, Surabaya, hingga Jambi, saya pikir tentunya ini akan jadi momen tak terlupakan. Apalagi frekuensi pertemuan kami sangat jarang.
Acara syukuran diawali dengan kebaktian yang dipimpin oleh pendeta setempat dan dihadiri oleh seluruh penghuni kampung dan dilanjutkan dengan acara makan bersama, yang makanannya dimasak secara gotong royong oleh penghuni kampung.Â
Oh ya, 'Kampung' yang dimaksud di sini hanyalah orang-orang yang berasal dari satu keturunan Ompung. Jadi sebetulnya, jumlah yang hadir juga tidak terlalu banyak.
Tradisi Mangokkal Holi
Esok harinya, kami semua pergi berziarah ke tugu tempat leluhur Hutahaean dimakamkan. Letaknya pun tidak terlalu jauh dari kampung. Meski begitu kami harus melewati jalan kecil dan menanjak.Â
Tugu kami boleh dibilang tidak terlalu besar. Di sekeliling tugu ada beberapa makam keluarga yang pernah saya kenal semasa hidup mereka.
Kalau melihat ukuran makam (Tugu/Tambak) yang besar dan indah di sana, saya sudah biasa. Tapi yang paling membuat saya penasaran adalah seperti apa isi tugu itu.Â
Orangtua saya sih selalu bilang kalau di dalam tugu disimpan tulang-belulang para leluhur, namun saya sendiri belum pernah melihat secara langsung. Dan saat itu adalah pertama kalinya saya mendapat kesempatan untuk melihat langsung bagian dalam tugu yang berisi tulang-belulang leluhur saya.Â
Jadi, bagaimana ceritanya tulang-tulang itu bisa sampai di sana?