Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Panggil Aku Item

2 Maret 2020   14:39 Diperbarui: 2 Maret 2020   14:51 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Item dan mata hijaunya (Dokpri)

Topik Pilihan dari Kompasiana tentang Hewan Kesayangan membuat saya menyadari bahwa ternyata banyak Kompasianer yang menyukai kucing. Karena saya juga termasuk penyuka kucing, saya jadi kepingin berbagi cerita tentang kucing peliharaan saya dulu.

Sebenarnya saya bukan termasuk orang yang suka memiliki hewan peliharaan, karena saya bukan orang yang sangat telaten dalam mengurus hewan peliharaan. Tapi seingat saya, pernah tiga kali punya hewan peliharaan. Itu pun secara tidak disengaja.

Dulu waktu kecil saya pernah pelihara anjing. Lupa entah siapa namanya. Itu pun karena ada orang lain yang memberikan. Tapi ya namanya anak kecil, belum bisa diserahkan tanggung jawab mengurus hewan peliharaan, akhirnya orangtua yang mengurus. Namun karena orangtua saya juga lumayan sibuk akhirnya mereka menyuruh saya untuk memberikan anjing tersebut kepada orang lain untuk dipelihara. Apalagi saat itu Mama membuka praktik Bidan di rumah, sehingga banyak pasien yang takut masuk ke rumah karena gonggongan anjing. Akhirnya semakin mantaplah alasan untuk menghibahkan anjing tersebut.

Hewan peliharaan saya yang kedua, salah seekor kucing betina yang kaki kiri depannya pincang. Namanya Pussy. Pussy yang memiliki bulu berwarna putih – abu-abu (kayak seragam SMA) ini, sebenarnya cuma seekor kucing kampung yang suka datang ke rumah untuk numpang tidur di teras depan. Karena kasihan, kami sering memberinya makan. Lama kelamaan, Pussy jadi hewan peliharaan kami. Meski begitu dia tidak selalu tinggal di rumah. Saat siang hari setelah makan, dia suka berkeliaran di luar. Namun menjelang malam dia pulang ke rumah untuk minta makan (lagi).

Mungkin karena kakinya pincang, naluri pertahanan Pussy selalu siaga. Dia tidak pernah mau dibelai apalagi digendong. Setiap kali tangan kita mengarah padanya untuk menyentuh, Pussy langsung mendesis galak. Bahkan tak segan-segan mencakar. Judes lah pokoknya.

Pussy menjadi hewan peliharaan kami selama beberapa tahun. Kami sendiri tidak tahu persis berapa usianya. Ketika kesehatannya semakin melemah, entah darimana seekor kucing betina yang bulunya berwarna hitam legam seluruhnya sering datang ke rumah kami. Persis seperti hadirnya Pussy dulu.

Orang bilang, kehadiran kucing hitam sering dianggap pertanda buruk. Yah seperti mitos-mitos zaman dulu. Kucing hitam sering dianggap sebagai kucing penyihir atau inkarnasi iblis. Waduh! Tapi menurut kami, kucing berwarna hitam legam justru unik. Apalagi bulu kucing tersebut bagus. Matanya berwarna hijau, ekornya panjang dan gerakannya lincah. Benar-benar seperti kucing ala-ala Hocus Pocus gitu deh. Dan karena sering kami beri makan, kucing hitam ini jadi semakin suka ke rumah. Kami pun memberinya nama Item. Sesuai warna bulunya.

Sayangnya, Item sama galaknya dengan Pussy tapi hanya pada sesama kucing. Item selalu menindas Pussy jika Pussy ada di dekat Item. Saat mereka makan pun harus dipisah jauh, supaya Item tidak merampok jatah makan Pussy. Si Item bahkan bersikap galak pada kucing lain yang mau masuk ke rumah kami. Boleh dibilang, Item ini jadi tidak punya teman walaupun ada banyak kucing lain di luar sana. Meski begitu, Item selalu suka dibelai oleh kami.

Ketika usia Pussy semakin tua, Pussy pun pergi meninggalkan kami. Ia sempat menghilang selama beberapa hari. Kemudian saat kembali ke rumah, kondisinya sudah sangat lemah dan akhirnya meninggal. Saya lupa dimana Bapak menguburnya.

Item dan mata hijaunya (Dokpri)
Item dan mata hijaunya (Dokpri)
Jadi tinggallah si Item. Boleh dibilang, Item benar-benar menjadi seperti hewan peliharaan sungguhan. Item lebih sering tinggal di rumah daripada berkeliaran di luar. Saat jam makan tiba, dia selalu mengeong dengan berisiknya meminta jatah. Bapak lah yang paling rajin memberi Item makan. Satu makanan kesukaan Item adalah nasi hangat dicampur ikan cue yang disuwir-suwir. Kalau bukan itu, dia hanya mengendus-endus sebentar, lalu ditinggalkan tanpa dimakan. Sombong kan?

Begitu selesai makan, dia langsung mencari posisi enak untuk tidur dimanapun dia suka. Kadang di kolong meja, kadang di atas meja. Kebetulan ada meja kami yang berwarna hitam sehingga tubuhnya seperti berkamuflase layaknya bunglon. Hanya mata hijaunya yang terlihat kalau dia bangun.

Saat pagi tiba, Item suka membangunkan semua orang dengan cara mengeong-ngeong berisik di depan kamar. Jika kami belum bangun juga, dia akan menggaruk-garuk pintu dan menunggu di depan pintu kamar sampai kami bangun. Item seperti alarm buat kami berangkat kuliah dan bekerja.

Oh ya, Item juga kucing yang cuek dan seenak jidat. Kalau kami sedang membaca koran di lantai, dengan santainya dia mondar-mandir di atas koran, kemudian tidur melingkar. Meskipun diusir, dia seakan berubah menjadi batu. Tidak mau bergerak!

Item tidak suka air. Jadi saat dia dipaksa mandi oleh Bapak, di memberontak keras pada awalnya. Tapi lama-kelamaan item pasrah saja ketika bulunya disabuni pakai sabun cair. Setelah mandi kedua kalinya (dengan lidahnya), dia mencari panas matahari dan berjemur layaknya orang-orang bule di Pantai Kuta sana. Banyak gaya kan?

Saya ingat Item pernah marah kepada kami, karena dia kami tinggal sendirian beberapa hari saat kami pulang kampung ke Samosir. Sempat bingung juga mau dititipkan ke mana. Tapi karena kami pikir dia kucing yang mandiri, jadi seharusnya tidak masalah. Lagipula Item juga suka main di luar. Begitu kami kembali, suara Item terdengar mengeong-ngeong berisik. Mungkin dia mendengar kami masuk. 

Tapi dicari ke mana-mana, tidak nampak mata hijaunya. Rupanya dia ada di dalam kardus berisi kain bekas di depan kamar saya di lantai dua. Item terlihat marah. Tidak mau disentuh, apalagi dibelai. Kaki depannya mengancam untuk mencakar. Jujur saya merasa sedih dan bersalah untuk pertama kalinya terhadap hewan. Dia pasti merasa sendirian, takut, serta belum ‘benar-benar makan’ dan kelaparan.

Akhirnya bersama adik saya, kami melakukan pendekatan lagi dengan Item dan berusaha berbaikan. Memberinya susu, hingga akhirnya dia mau makan dan disentuh oleh kami.

Suatu hari Item menghilang dan tidak kembali ke rumah selama 3 hari. Firasat buruk saya muncul lagi. Teringat Pussy dulu. Benar saja, ketika akhirnya Item kembali, dia terlihat lemas. Bulunya kotor dan matanya sayu. Tidak mau minum apalagi makan. Bahkan ikan cue kegemarannya tidak disentuhnya meski sudah diletakkan di depan hidungnya. 

Satu hal yang paling saya ingat, Item cuma bisa berbaring di lantai tempat mencuci pakaian yang agak basah dan lembab. Setiap kali dipindahkan, dia kembali lagi ke sana. Jujur saya memang belum sempat membawanya ke dokter hewan karena memang tidak ada praktik dokter hewan di sekitar rumah. Jadi ketika akhirnya Item pergi, saya dan adik saya menangis. Sedih sekaligus merasa bersalah.

Beberapa teman sempat meledek saya karena menangisi kucing yang sudah mati. Tapi ya memang kami sesedih itu. Item pun kami kubur di samping rumah. Dan sejak saat itu saya kapok untuk punya hewan peliharaan. Sedihnya bukan main kalau mereka mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun