Saat pagi tiba, Item suka membangunkan semua orang dengan cara mengeong-ngeong berisik di depan kamar. Jika kami belum bangun juga, dia akan menggaruk-garuk pintu dan menunggu di depan pintu kamar sampai kami bangun. Item seperti alarm buat kami berangkat kuliah dan bekerja.
Oh ya, Item juga kucing yang cuek dan seenak jidat. Kalau kami sedang membaca koran di lantai, dengan santainya dia mondar-mandir di atas koran, kemudian tidur melingkar. Meskipun diusir, dia seakan berubah menjadi batu. Tidak mau bergerak!
Item tidak suka air. Jadi saat dia dipaksa mandi oleh Bapak, di memberontak keras pada awalnya. Tapi lama-kelamaan item pasrah saja ketika bulunya disabuni pakai sabun cair. Setelah mandi kedua kalinya (dengan lidahnya), dia mencari panas matahari dan berjemur layaknya orang-orang bule di Pantai Kuta sana. Banyak gaya kan?
Saya ingat Item pernah marah kepada kami, karena dia kami tinggal sendirian beberapa hari saat kami pulang kampung ke Samosir. Sempat bingung juga mau dititipkan ke mana. Tapi karena kami pikir dia kucing yang mandiri, jadi seharusnya tidak masalah. Lagipula Item juga suka main di luar. Begitu kami kembali, suara Item terdengar mengeong-ngeong berisik. Mungkin dia mendengar kami masuk.Â
Tapi dicari ke mana-mana, tidak nampak mata hijaunya. Rupanya dia ada di dalam kardus berisi kain bekas di depan kamar saya di lantai dua. Item terlihat marah. Tidak mau disentuh, apalagi dibelai. Kaki depannya mengancam untuk mencakar. Jujur saya merasa sedih dan bersalah untuk pertama kalinya terhadap hewan. Dia pasti merasa sendirian, takut, serta belum ‘benar-benar makan’ dan kelaparan.
Akhirnya bersama adik saya, kami melakukan pendekatan lagi dengan Item dan berusaha berbaikan. Memberinya susu, hingga akhirnya dia mau makan dan disentuh oleh kami.
Suatu hari Item menghilang dan tidak kembali ke rumah selama 3 hari. Firasat buruk saya muncul lagi. Teringat Pussy dulu. Benar saja, ketika akhirnya Item kembali, dia terlihat lemas. Bulunya kotor dan matanya sayu. Tidak mau minum apalagi makan. Bahkan ikan cue kegemarannya tidak disentuhnya meski sudah diletakkan di depan hidungnya.Â
Satu hal yang paling saya ingat, Item cuma bisa berbaring di lantai tempat mencuci pakaian yang agak basah dan lembab. Setiap kali dipindahkan, dia kembali lagi ke sana. Jujur saya memang belum sempat membawanya ke dokter hewan karena memang tidak ada praktik dokter hewan di sekitar rumah. Jadi ketika akhirnya Item pergi, saya dan adik saya menangis. Sedih sekaligus merasa bersalah.
Beberapa teman sempat meledek saya karena menangisi kucing yang sudah mati. Tapi ya memang kami sesedih itu. Item pun kami kubur di samping rumah. Dan sejak saat itu saya kapok untuk punya hewan peliharaan. Sedihnya bukan main kalau mereka mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H