Well, tulisan saya kali ini masih seputar cerita perjalanan saya bersama rombongan keluarga pulang ke kampung Bapak di Onan Runggu, Pulau Samosir. Sayangnya, seperti biasa perjalanan kami dibatasi oleh waktu karena kami harus tiba di Onan Runggu tanggal 30 Desember untuk persiapan acara tahun baru.
Padahal ada banyak sekali tempat yang ingin saya kunjungi, mulai dari Lembah Bakkara, Tuktuk, termasuk The Kaldera Toba Nomadic Escape yang belum lama diresmikan oleh Bapak Luhut Binsar Panjaitan. Oleh sebab itu mau tak mau kami harus menyeleksi seketat mungkin tempat wisata yang akan kami kunjungi.
Berhubung saya lebih suka tempat-tempat yang berorientasi pada budaya dan kultur setempat, akhirnya atas rekomendasi salah seorang sepupu, kami memutuskan untuk ke Huta Siallagan karena lokasinya juga searah dengan perjalanan kami dari kawasan Tele. Dan benar saja, Huta Siallagan sangat sesuai dengan ekspektasi saya.
Huta Siallagan
Dalam bahasa Batak, kata Huta dapat diartikan sebagai desa atau kampung. Jadi kurang lebih Huta Siallagan adalah kampung masyarakat Batak yang bermarga Siallagan.Â
Satu hal yang menurut saya menarik dari tempat ini adalah kepedulian dan kreativitas masyarakat setempat untuk mengenalkan kampung dan tradisinya dalam bentuk desa wisata.
Meski boleh dibilang tempatnya tidak terlalu besar dan agak tersembunyi di dekat pelabuhan Ambarita, Huta Siallagan yang terletak di Desa Ambarita, kecamatan Simanindo ini didesain sedemikian cantik khas kultur Batak Toba.Â
Lokasi Huta Siallagan memiliki luas kurang lebih 2.400 meter persegi yang dikelilingi oleh tembok batu yang disusun bertingkat setinggi 1.5-2 meter. Konon, dulu tembok batu ini berfungsi untuk menjaga kampung dari serangan binatang buas maupun serangan musuh.
Kalau dilihat-lihat sih, rumah-rumah ini sudah tidak lagi dihuni dan hanya dijadikan sebagai properti wisata. Maka tak heran spot ini selalu dijadikan turis sebagai latar untuk berfoto.
Satu hal lain yang membuat saya menyukai tempat ini adalah adanya tour guide yang menjelaskan sejarah tentang Huta Siallagan. Jadi pengunjung yang datang ke sini tidak hanya sekadar foto-foto saja, tetapi juga memperoleh pengetahuan tentang sejarah Huta Siallagan.
Batu Parsidangan dan Stigma Kanibalisme Masyarakat Batak
Sepanjang perjalanan saya menuju Huta Siallagan, papan penunjuk jalan tidak mencantumkan "Huta Siallagan" melainkan "Batu Kursi Raja Siallagan". Hal ini karena memang Batu Kursi Raja Siallagan lah yang menjadi ikon Huta Siallagan.
Dalam kompleks Huta Siallagan terdapat satu set kursi yang mengelilingi meja yang terbuat dari batu. Area ini dinamakan Batu Parsidangan karena konon di tempat inilah Raja Siallagan mengadili dan menjatuhi hukuman bagi penjahat atau pelanggar hukum adat.
Sebagai informasi, Pohon Hariara dikenal sebagai pohon suci bagi masyarakat Batak. Pohon yang termasuk dalam genus Ficus ini sering dikenal juga dengan Pohon Beringin.Â
Meski bentuknya memang seperti pohon Beringin, tapi Hariara berbeda dengan Beringin, dimana daun Hariara lebih lebar dan buahnya lebih besar.
Dalam kepercayaan agama asli (paganism) orang Batak, Pohon Hariara diyakini sebagai pohon yang diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon (Pencipta yang Maha Besar).Â
Pohon ini juga diyakini diciptakan bersamaan dengan penciptaan Tanah batak dan Manusia Batak pertama oleh Mulajadi Na Bolon di Kampung Sianjurmulamula, Gunung Pusukbuhit.
Oleh sebab itu Pohon Hariara lazim digunakan oleh orang Batak sebagai penanda kelayakan perkampungan. Sebelum menetapkan pendirian sebuah lokasi kampung baru, maka terlebih dahulu akan ditanam anakan Pohon Hariara.Â
Jika setelah tujuh hari Hariara itu dapat tumbuh dengan baik, maka lokasi itu dianggap cocok untuk mendirikan kampung dan diyakini memiliki tanah yang subur dan cocok untuk bertani.
Kembali ke Batu Parsidangan tadi, Batu Parsidangan yang terletak di bawah Pohon Hariara biasanya digunakan untuk rapat bagi para tetua adat dan tempat untuk menjatuhi vonis bagi penjahat.Â
Apabila kejahatannya tergolong kecil biasanya hukuman yang dijatuhi tidak tidak terlalu berat, misalnya diasingkan dari desa. Namun jika kejahatannya tergolong berat, maka hukuman mati denagn cara dipenggal pun bisa dijatuhkan. Umumnya hukuman ini dijatuhi pada kelompok musuh.
Yang agak membuat merinding, konon penjahat yang yang telah dieksekusi, jantung dan hatinya akan diambil untuk dimakan oleh raja. Hal ini dipercaya dapat meningkatkan kekuatan raja. Itulah legenda yang memunculkan stigma bahwa orang Batak dulu mempraktikkan kanibalisme.
Menari Tortor di Huta Siallagan
Usai mendengar penjelasan tentang sejarah Huta Siallagan dari tour guide, pengunjung akan diajak untuk menari Tortor. Pihak kampung adat bahkan dengan baik hati menyediakan sejumlah Ulos dan Sortali untuk dipakai oleh pengunjung yang akan menari Tortor.Â
Tentunya Ulos dan Sortali ini hanya dipinjamkan saja loh ya, jadi setelah tarian selesai tidak boleh dibawa pulang dan harus dikembalikan ke tempat semula.
Menari Tortor tak akan lengkap kalau tidak ada patung Sigale-gale yang ikut menari. Oleh sebab itu pihak kampung adat juga menghadirkan replika patung Sigale-gale untuk menemani pengunjung menari Tortor.
Dalam satu bagian tertentu, pengunjung akan diajak untuk menari dengan menyelipkan uang di kedua jemari tangan (pasti sering lihat dong ya kalau orang Batak menari ada saweran dengan menyelipkan uang di antara jemari tangan). Uang ini nantinya akan ditaruh dalam keranjang di samping patung Sigale-gale.Â
Tujuannya sih pastinya sebagai sumbangan untuk pemeliharaan desa adat. Namun tentu besaran nominalnya sesuai kemampuan dan keikhlasan pengunjung, alias tidak dibatasi.
Usai menari Tortor, pengunjung bisa melanjutkan berfoto-foto sebelum meninggalkan desa adat. Atau bagi yang ingin berbelanja cinderamata, tersedia deretan kios yang menjual berbagai macam oleh-oleh khas Batak.Â
Namun jangan lupa ditawar ya, karena menurut saya cara berjualan pedagang di sana agak kurang cocok dengan budaya pengunjung dari kota-kota besar.
Well, jujur saya sangat berkesan dengan Huta Siallagan ini karena selain tempatnya didesain dengan apik dan cantik, bersih, ilmu dan pengalaman yang kita dapat juga oke dan seru.Â
Kalau pembaca sekalian ada yang sedang jalan-jalan ke Pulau Samosir, Huta Siallagan sangat cocok untuk dimasukkan ke dalam daftar destinasi untuk merasakan secara langsung pengalaman budaya Batak. Dari sini pegunjung bisa melanjutkan berwisata ke Tuktuk karena letaknya juga tidak jauh.
Horas, horas, horas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H