Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Peredaran Obat Palsu Terungkap Lagi

26 Juli 2019   15:50 Diperbarui: 26 Juli 2019   18:01 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: style.tribunnews.com

Baru-baru ini dunia kesehatan kembali dihebohkan dengan berita terungkapnya peredaran obat palsu di Semarang oleh PT. Jaya Karunia Investindo.

Berdasakan hasil penelusuran saya, pada database Kementerian Kesehatan, PT. JKI tercatat secara resmi sebagai Pedagang Besar Farmasi/PBF (disebut juga sebagai disitributor) yang berkantor di Jakarta Timur dan memiliki kantor cabang di Tangerang.

Dalam kasus ini, PT. JKI telah melakukan pelanggaran dengan memproduksi obat palsu di sarana ilegal di Semarang.

PBF tersebut melakukan repacking (pengemasan ulang) obat generik yang sudah kedaluarsa menjadi obat paten, untuk kemudian dijual kembali ke pasar, yakni ke sekitar 197 apotek yang tersebar di Semarang dan Jabodetabek dengan harga lebih mahal.

Dari penjualan itu mereka meraup keuntungan besar, karena di pasaran harga obat generik lebih murah daripada obat paten.

Perlu diketahui bahwa dalam dunia industri farmasi, aktivitas repacking sebenarnya termasuk dalam proses produksi.

Oleh sebab itu perusahaan yang terdaftar sebagai distributor obat jadi, tidak boleh melakukan repack jika tidak memiliki izin industri (produksi).

Izin distribusi bagi PBF obat jadi dan bahan baku obat didasarkan pada prinsip CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik), sementara izin produksi bagi industri/pabrik didasarkan pada prinsip CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik).

CDOB dan CPOB ini tentunya memiliki standar dan kriteria yang berbeda yang harus dipatuhi untuk menjamin kualitas dan keamanan produk.

Karenanya distributor obat jadi hanya diperbolehkan untuk menyalurkan obat jadi ke sarana-sarana resmi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Apa yang dilakukan oleh PT. JKI tentunya adalah pelanggaran berat. Karena selain mereka melanggar peraturan dari segi perizinan, mereka juga membahayakan pasien karena obat yang mereka repack adalah obat yang sudah kadaluarsa.

Menurut Peraturan Kepala BPOM tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik, sanksi administratif akibat pelanggaran terhadap ketentuan Pedoman Teknis CDOB adalah peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan hingga pencabutan sertifikat CDOB. Dan menurut  klarifikasi BPOM, rekomendasi pencabutan izin PT. JKI telah diproses.

Selain itu sebagai bentuktindakan preventif, penarikan obat yang didistribusikan oleh PT. JKI sudah dilakukan dan seluruh apotek di Indonesia telah diminta untuk tidak melakukan pemesanan dan penyerahan/penjualan obat yang didistribusikan oleh PBF JKI, untuk kemudian diinvestigasi oleh produsen bersangkutan terkait keaslian produk.

Sayangnya, masih belum ada informasi yang jelas obat apa saja yang telah dipalsukan oleh PBF JKI, mengingat kemungkinan besar sebagian obat-obat palsu tersebut sudah sampai ke end user (pasien).

Imbauan bagi Sarana Apotek dan Konsumen

Kasus peredaran obat ilegal memang kerap terjadi dengan berbagai macam modus. Mulai dari menggunakan bahan baku obat palsu, dan sekarang muncul  dengan modus repack. Meski bahan bakunya asli, namun nyatanya sudah kadaluarsa. Itu berarti tanggal kadaluarsa pada kemasan palsunya juga dibuat-buat.

Dan lebih parahnya lagi, obat tersebut diganti identitasnya menjadi obat paten yang harganya lebih mahal. Jadi sudah terbayang dong kerugian konsumen?

Sudah palsu, berbahaya, harganya mahal pula!

Dengan kecanggihan mesin dan teknologi seperti sekarang ini, memang jadi agak sulit bagi kita untuk membedakan mana obat yang asli dan palsu. Kemasan dapat dicetak sedemikian rupa hingga sangat mirip dengan aslinya dan bahkan sticker hologram pun masih bisa dipalsukan.

Jika obat tersebut tidak memiliki Nomor Izin Edar (NIE), kita masih bisa mengkroscek legalitasnya melalui website BPOM.

Tapi jika pemalsuannya dengan cara repacking barang kadaluarsa seperti ini, meskpiun konsumen mengecek NIE-nya ke BPOM, pasti hasilnya obat tersebut legal.

Apalagi tampilan fisik produk obat kimia biasanya tidak tampak perubahan berarti meskipun sudah kadaluarsa (kecuali obat-obat yang sensitif terhadap kondisi eksternal seperti cahaya dan suhu).

Oleh sebab itu, kewaspadaan harus lebih ditingkatkan di level sarana distribusi pelayanan misalnya apotek atau instalasi farmasi rumah sakit.

Semestinya apotek jangan mudah tergiur dengan diskon yang diberikan distributor.

Contoh, jika harga pasaran 1 karton produk A dari distributor adalah lima ratus ribu rupiah, kemudian salah satu distributor lain memberi diskon 50% tanpa ada kondisi tertentu (harga diskon bisa jadi diberikan karena ED produk sudah dekat), maka apotek perlu mencurigai keaslian produk tersebut.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tampilan desain kemasan (apakah rapi atau tampak seperti print biasa), bentuk dan/atau tampilan segel kemasan (apakah berbeda dari biasanya), dan penampakan fisik (misalnya warna) obat yang berbeda dari yang biasanya (jika bisa diamati tanpa membuka kemasan).

Pertanyaan saya sekarang adalah, dari mana JKI memperoleh obat kadaluarsa sedemikian banyak?

Menurut regulasi, obat-obat yang sudah kadaluarsa dan tidak memenuhi syarat untuk didistribusikan harus dimusnahkan. Sarana yang memusnahkan obat kadaluarsa harus melaporkan berita acara kepada regulator terkait.

Jadi kelihatannya perlu ditelusuri juga sarana yang menjual obat-obat kadaluarsa ke PT. JKI.

2D Barcode sebagai Upaya Pencegahan Peredaran Obat Palsu

Di era Revolusi  Industri 4.0 dimana perkembangan teknologi digital kini sudah merambah di setiap aspek kehidupan, BPOM juga berinovasi dengan membangun pengawasan berbasis digital.

Tujuannya tak lain adalah untuk meningkatkan pengawasan produk oleh petugas dan masyarakat untuk melindungi masyarakat dari produk yang tidak memenui persyaratan, termasuk mencegah beredarnya produk tanpa identitas (tanpa NIE atau NIE palsu).

Ilustrasi: BPOM
Ilustrasi: BPOM
Inovasi yang dimaksud adalah menerapkan pencantuman 2D Barcode pada kemasan produk obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik dan pangan olahan yang diproduksi (dalam maupun luar negeri) dan diedarkan di wilayah Indonesia, meskipun saat ini penerapannya baru bertahap.

Implementasi 2D Barcode dilakukan dengan 2 metode yakni Identifikasi (verifikasi legalitas obat dan makanan berdasarkan NIE) dan Otentifikasi (menelusuri dan memverifikasi no bets, expired date, dan nomor serial produk).

Jadi, ketika barcode dipindai dengan menggunakan aplikasi BPOM Mobile, maka akan muncul informasi berupa nama produk, jenis kemasan, pendaftar dan produsen, NIE dan masa berlaku NIE.

Dan jika barcode dipindai dengan scanner umum, maka yang muncul adalah NIE & masa berlakunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun