Boleh dikatakan, dunia farmasi saat ini sedang dilanda kehebohan terutama setelah US FDA menarik produk obat hipertensi Valsartan dari peredaran beberapa bulan yang lalu.
Tak lama kemudian, BPOM RI ikut mengeluarkan edaran yang mengumumkan bahwa obat Valsartan yang bahan bakunya diproduksi oleh Zhejiang Huahai Pharmaceuticals (Linhai, China) ditarik dari peredaran karena teridentifikasi mengandung zat pengotor (impurity) NDMA (Nitrodimethylamine).
Pasalnya, zat pengotor ini bersifat karsinogen alias pemicu kanker jika terpapar pada manusia.
Saya menduga bahwa pihak-pihak terkait telah melakukan investigasi lebih lanjut terkait kasus ini. Dan akhirnya penarikan ini meluas ke produk antihipertensi golongan Angitotensin-2 Receptor Blocker (ARB) lainnya.
Pada awal Desember 2018 lalu BPOM RI menerbitkan edaran atas penarikan secara sukarela (voluntary recall) oleh industri farmasi untuk produk Losartan yang bahan bakunya diperoleh dari Zhejiang Huahai.
Kemudian tanggal 23 Januari 2019 lalu BPOM kembali menerbitkan edaran kepada industri farmasi pemilik produk Irbesartan di Indonesia untuk menghentikan sementara produksi dan menarik produk dari pasar.
Ada lima produk (branded maupun generik) yang ditarik yakni milik PT. Combiphar, PT. Otto Pharmaceutical Industries, PT. Pertiwi Agung dan PT. Abbott Indonesia.
Hal ini dilakukan setelah US FDA kembali menarik Irbesartan yang bahan bakunya diperoleh dari Zhejiang Huahai teridentifikasi mengandung pengotor NDEA (Nitrosodiethylamine).
Angiotensin-2Â Receptor Blocker (ARB)
Ada beberapa kelas obat hipertensi menurut cara kerjanya seperti golongan Diuretik, ACE-Inhibitor, Antagonis Kalsium, dan ARB. Tentunya saya tidak akan membahas secara detail masing-masing kelas obat ini, melainkan hanya fokus pada ARB.
Antihipertensi golongan ARB bekerja memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) dengan menghambat senyawa enzim Angiotensin-2, di mana enzim ini memiliki efek kebalikannya yakni penyempitan pembuluh darah (vasokontriksi). Pelebaran pembuluh darah akhirnya akan menurunkan tekanan pada pembuluh darah. Dan obat-obat yang termasuk dalam golongan ARB ini antara lain Irbesartan, Valsartan, Losartan, Kandesartan dan Telmisartan.
Sebenarnya apa sih NDMA dan NDEA ini?
Sebelumnya saya pernah membahas sedikit tentang NDMA dalam artikel saya sebelumnya. Baik NDMA maupun NDEA diklasifikasikan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) ke dalam zat karsinogenik golongan 2A (probably carcinogenic to human), di mana kedua zat ini dapat menjadi zat karsinogen setelah melalui proses metabolisme dalam tubuh.
NDMA dan NDEA pada dasarnya senyawa yang mirip, yakni senyawa kimia organik berbentuk cairan berwarna kuning yang biasanya ditemukan dalam proses industri maupun alami.
Senyawa ini awalnya biasa digunakan dalam produksi bahan bakar, pelumas, namun saat ini lebih untuk kepentingan penelitian.
Kontaminasi NDMA dapat ditemukan di udara, tanah maupun air. Di udara biasa, NDMA akan hancur dalam waktu sekitar 5-30 menit setelah mengalami reaksi fotolisis oleh sinar matahari langsung.
Sementara itu di dalam tanah NDMA dapat bergerak dengan mudah mencapai air tanah dan ketika kontak dengan air, NDMA akan larut dengan mudah. Namun tetap akan hancur akibat fotolisis jika air yang mengandung NMDA terpapar oleh sinar matahari langsung.
NDMA dapat muncul dari hasil samping reaksi kimia terutama yang melibatkan alkilamina dengan nitrogen oksida, asam nitrat atau garam nitrit. Misalnya dalam industri penyamakan kulit, produksi pestisida, produksi karet dan ban, fasilitas pengolahan ikan dan pabrik pengecoran dan pewarna, hingga hasil reaksi samping dari proses klorinasi air limbah.
Paparan NDMA pada manusia bisa terjadi melalui konsumsi makanan seperti ikan atau daging asap, air yang terkontaminasi, minuman yang mengandung malt (bir atau wiski) yang mungkin mengandung kadar Nitrosamin rendah, hingga paparan di tempat kerja penyamakan kulit, pabrik pestisida maupun pabrik karet/ban.
Paparan berlebih (over exposure) NDMA maupun NDEA (meskipun dalam jumlah kecil namun terus menerus) akan menimbulkan gejala sakit kepala, pusing, demam, mual, muntah, nyeri perut hingga penurunan fungsi hati, ginjal, paru dan pada akhirnya berpotensi kanker.
Terlepas dari isu-isu lain yang beredar (terkait perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok), bagi pasien hipertensi yang sudah terlanjur menggunakan obat-obat Valsartan, Losartan dan Irbesartan yang tercantum dalam edaran BPOM, berikut langkah-langkah yang harus dilakukan:
- Identifikasi nama obat (brand maupun generik) yang digunakan, berikut nama produsennya.
- Hentikan sementara penggunaan.
- Konsultasikan ke dokter mengenai informasi ini untuk memperoleh penggantian obat dan regimen dosis.
Berkaca dari kejadian sebelumnya, bukan tidak mungkin obat ARB lainnya yang belum disebutkan secara spesifik dalam daftar recall, akan ikut ditarik juga. Jadi ada baiknya pasien juga mendiskusikan hal ini pada dokter masing-masing.
Sejujurnya saya berharap BPOM juga telah melakukan analisa identifikasi senyawa impurity NMDA dan NDEA pada produk-produk yang diduga tercemar untuk lebih memastikan apakah produk yang sudah beredar di Indonesia benar-benar tercemar atau tidak. Bila perlu melakukan inspeksi atau monitoring ulang terutama untuk produk-produk antihipertensi ARB lainnya yang bahan bakunya berasal dari pabrik yang sama, karena timbul kesan bahwa Indonesia hanya mengikuti saja langkah dari US FDA.
Selain pemerintah sebagai pengawas, hendaknya pelaku industri maupun PBF juga melakukan tindakan preventif. PBF (Pedagang Besar Farmasi) sebagai hulu produksi obat di Indonesia yang berperan menyediakan bahan baku obat, hendaknya bisa lebih ketat dalam menyeleksi supplier Bahan Baku Obat (yang hingga saat ini mayoritas masih impor), misal melalui kelengkapan dokumen mutu pabrik bahan baku mulai dari sertifikat GMP (Good Manufacturing Practice), Izin Industri, CoA (Certificate of Analysis) produk yang mengacu pada monografi bahan baku yang terbaru.
Selain PBF, industri farmasi sebagai pelaku produksi obat sebaiknya juga sudah mulai aware dengan isu-isu impurities ini. Kualitas suatu obat dapat dilihat melalui hasil analisa bahan baku aktif maupun produk jadi yang mengacu pada monografi-monografi terbaru.
Namun memang perlu dipahami bahwa untuk untuk memenuhi standar monografi terbaru diperlukan biaya besar (padat modal) dan waktu pengembangan (development).
Inilah resiko di dunia farmasi dalam memproduksi obat yang memenuhi standar keamanan dan khasiat bagi pasien. Karena pada dasarnya obat adalah racun, namun pada dosis tertentu dapat bermanfaat bagi manusia.
Jadi, jika racun ini tidak dimonitor dengan ketat, tentu akan berpotensi merugikan pasien.
Referensi: EPA
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI