Kedua senyawa utama Ganja ini bekerja dengan cara berikatan pada reseptor Cannabinoid (CB1 dan CB2). Reseptor CB1 umumnya banyak ditemukan di otak, sedangkan reseptor CB2 Â umumnya ditemukan di bagian tubuh lain seperti organ dalam, jaringan ikat, sel imun dan kelenjar, yang berperan dalam proses makan, relaksasi, tidur, melupakan dan perlindungan. Pada dosis tertentu Cannabidiol dapat digunakan untuk mengobati insomnia, gangguan kecemasan hingga epilepsi.
Meskipun penggunaan (tanaman) ganja untuk tujuan pengobatan tidak disetujui oleh US FDA, namun senyawa Cannabidiol telah disetujui sebagai obat untuk epilepsi (antikonvulsan). US FDA juga menyetujui dua senyawa sintetik Cannabinoid yakni Dronabinol dan Nabilone.
Nabilone diindikasikan untuk mengatasi mual dan muntah akibat efek samping kemoterapi (jika pengobatan lainnya tidak lagi berhasil bagi pasien kanker). Sedangkan Dronabinol merupakan senyawa sintetik Delta-9 Tetrahydrocannabinol yang diindikasikan untuk memperbaiki nafsu makan (apeptite stimulant) dan mengatasi anoreksia pada pasien AIDS yang mengalami kekurangan berat badan.
Kalau dipikir-pikir, dulu banyak yang bilang kalau Nasi Padang itu rasanya enak dan bikin ketagihan gara-gara dimasak dengan daun ganja. Ya bisa jadi karena senyawa yang memberikan efek appetite stimulant ini? Hihihi..
Nah, karena komponen ganja yang memiliki efek psikoaktif, konsumsi ganja juga berisiko menimbulkan efek adiksi (ketagihan) sehingga sangat berpotensi disalahgunakan. Penyalahgunaan ganja dapat memberi pengaruh buruk bagi seluruh aspek kehidupan seseorang, mulai dari kesehatan fisik (mual, muntah, gangguan pernafasan, takikardi atau percepatan denyut jantung, hingga cacat janin jika digunakan oleh ibu hamil), kesehatan mental (halusinasi, paranoid hingga schizoprenia), sampai menimbulkan masalah relasi sosial.
Ganja dan Status Legalitasnya di Berbagai Negara
Hingga saat ini negara-negara yang telah melegalkan penggunaan ganja medis antara lain Australia, Puerto Rico, Polandia, Republik Ceko, Kroasia, Macedonia. Dan walaupun US FDA belum memberikan persetujuan penggunaan (tanaman) ganja medis, namun beberapa negara bagian justru melegalkannya sehingga status legalitasnya pun menjadi abu-abu (grey area).
Sebagai informasi, menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (termasuk perubahannya dalam Permenkes No. 7 Tahun 2018) dinyatakan bahwa tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk  biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis, termasuk dalam Narkotika Golongan I. Termasuk juga THC dan semua bentuk stereo kimianya.
Adapun Narkotika Golongan I ini dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan dalam jumlah terbatas hanya boleh digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Sama halnya dengan tanaman Papaver somniferum, Opium Mentah dan Opium Masak, Daun Koka dan Kokain Mentah, Heroin dan sebagainya.
Saya hampir yakin bahwa Indonesia tidak akan mengikuti langkah Kanada yang melegalkan penggunaan ganja untuk tujuan rekreasi. Namun pertanyaannya, mungkinkah kelak Indonesia akan mengikuti jejak yang sama dengan Inggris dan Thailand untuk melegalkan penggunaan ganja medis?