Ketika guru memberikan PR, anak sedang diajarkan untuk sadar bahwa ia dipercayakan gurunya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dalam kurun waktu tertentu. Dan ketika ada beberapa PR yang harus diselesaikan, anak sedang diajari untuk bisa membagi waktunya antara bermain dan belajar, sehingga tugas yang diberikan tetap bisa selesai tepat waktu. Hal ini sama persis dengan apa yang akan dialami saat dewasa dalam dunia kerja. Ketika atasan memberikan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam tenggat waktu tertentu.
Dengan meniadakan PR, sama saja membiarkan anak menuruti rasa malasnya. Apalagi orangtua zaman sekarang biasanya super sibuk sehingga belum tentu bisa setiap saat mengawasi anaknya untuk belajar, baik pelajaran akademik maupun non-akademik.
Menjadi wadah untuk mengeksplor pengetahuan dan pemahaman
PR bisa berupa pre-test yang harus dijawab sebelum memulai topik pelajaran tertentu. Dengan demikian anak diajarkan untuk memahami garis besar topik pelajaran atau perkuliahan yang akan dibahas, sehingga lebih memudahkan siswa/mahasiswa saat menerima materi di kelas.
Selain itu PR juga bisa berupa review dari mata pelajaran/mata kuliah yang sudah dipelajari sebelumnya, sehingga siswa/mahasiswa bisa menguji kemampuannya dalam memahami pelajaran dan mematangkan konsep materi yang telah diperoleh dari guru atau dosen. Bila perlu, anak diajarkan untuk mencari sumber selain dari buku teks sekolah, namun masih memiliki keterkaitan dengan materi yang telah dipelajari.
Zaman digital seperti sekarang ini, tinggal klik 'cari' pada situs pencari 'Mbah Google', ratusan bahkan ribuan pilihan jawaban akan muncul. Namun tentunya tidak semua sumber relevan untuk dijadikan sumber jawaban. Jangan sampai anak terbiasa dengan budaya 'copy paste' dari sumber-sumber yang tidak valid.
PR hendaknya jangan ditiadakan, tapi dibuat proporsional
Ini hanya sekadar saran saya untuk para pengajar baik guru maupun dosen dan juga pihak pemerintah yang berwenang. Jika memang yang dikhawatirkan adalah anak tidak bisa mendapatkan pendidikan karakter yang cukup jika ada PR, mengapa tidak memodifikasi konsep PR yang diberikan?Â
Alih-alih PR yang bersifat akademis, sesekali PR bisa berupa hal-hal lain yang bisa membangun karakter anak. Misalnya, membuat kliping dari koran/majalah (meski gaya jadul, teknik ini sangat bermanfaat loh), membuat observasi dan laporan yang melibatkan peran keluarga, teman, dan lingkungan sekitar, menulis esai dengan tema tertentu, membuat prakarya, membuat summary dari bacaan atau buku tertentu, membuat dan mempraktikan pidato singkat, dan sebagainya.Â