Belakangan ini saya banyak membaca artikel di Kompasiana tentang kontroversi PR alias Pekerjaan Rumah, yang biasanya diberikan oleh guru di sekolah kepada murid-muridnya. Yang saya tahu, isu meniadakan PR ini sudah sejak dulu menjadi kontroversi.
Jadi rupa-rupanya isu ini kembali muncul setelah Dinas Pendidikan Kota Blitar mengeluarkan surat edaran kepada para guru supaya tidak lagi memberikan PR kepada murid-muridnya. Alasannya? Ya, supaya anak-anak tersebut memilki lebih banyak waktu belajar pedidikan karakter di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Saya jadi ingat waktu saya masih sekolah SMP dan SMA dulu. Kebetulan selama enam tahun itu, saya bersekolah di sekolah Katolik. Dan saya ingat betul sistem belajar saat itu luar biasa melelahkan. Guru-guru saya seakan-akan tidak pernah kehabisan ide untuk membuat murid-muridnya super sibuk.Â
Saya sempat berpikir mereka begitu pantangnya membuat siswa-siswinya menganggur, sehingga mereka selalu memberikan banyak PR dan ulangan. Pokoknya sudah kayak level mahasiswa deh. Oleh sebab itu, keluhan "aduh, kenapa sih harus ada PR?" seringkali terdengar di antara para murid (termasuk saya).Â
Jam sekolah yang hampir mirip jam kerja karyawan swasta (dari pagi hingga sore) sudah cukup membuat para murid kelelahan. Dan sesampainya di rumah saya masih harus mengerjakan PR plus belajar untuk ulangan (jika ada).
Saya sadar betul saya bukan orang yang bekerja maupun ahli dalam bidang akademi. Saya bukan guru apalagi dosen. Dan opini saya mengenai kontroversi PR kali ini, saya sampaikan berdasarkan pengalaman saya yang mengenyam pendidikan formal, alias pernah berstatus siswi dan mahasiswi selama 19,5 tahun (beuh, lama juga ya!).Â
Tanpa bermaksud menjelekkan pandangan orang lain yang berseberangan, jujur saja saya menganggap PR itu adalah sesuatu yang sangat penting dan dengan meniadakannya bukan berarti bisa mencapai target/tujuan seperti yang dimaksudkan oleh Dinas Pendidikan Kota Blitar tersebut.
Banyak orang (termasuk orangtua murid) yang beranggapan bahwa banyaknya PR dapat memberikan efek negatif bagi anak. Mulai dari kurangnya waktu bersama keluarga dan teman, tidak bisa menikmati masa anak-anak/remaja dengan selayaknya, stres, hingga penurunan kesehatan akibat kurang tidur.Â
Saya akui hal-hal tersebut bisa menjadi resiko setiap anak. Bahkan saya sering menemukan anak-anak zaman sekarang tidak bisa mengatur dirinya sendiri alias mandiri dan sulit berkomunikasi dengan orang lain di luar lingkaran teman dan keluarga, akibat terlalu fokus pada urusan akademik. Anak jadi tidak punya karakter dan kepribadian. Padahal dalam kehidupan sosial, pada akhirnya peran akademik hanya sekian persen.
Tapi sekali lagi, meniadakan PR menurut saya tidak akan menyelesaikan masalah-masalah di atas. Mengapa?
PR adalah cara awal mengajarkan anak bertanggung jawab
Ketika guru memberikan PR, anak sedang diajarkan untuk sadar bahwa ia dipercayakan gurunya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dalam kurun waktu tertentu. Dan ketika ada beberapa PR yang harus diselesaikan, anak sedang diajari untuk bisa membagi waktunya antara bermain dan belajar, sehingga tugas yang diberikan tetap bisa selesai tepat waktu. Hal ini sama persis dengan apa yang akan dialami saat dewasa dalam dunia kerja. Ketika atasan memberikan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam tenggat waktu tertentu.
Dengan meniadakan PR, sama saja membiarkan anak menuruti rasa malasnya. Apalagi orangtua zaman sekarang biasanya super sibuk sehingga belum tentu bisa setiap saat mengawasi anaknya untuk belajar, baik pelajaran akademik maupun non-akademik.
Menjadi wadah untuk mengeksplor pengetahuan dan pemahaman
PR bisa berupa pre-test yang harus dijawab sebelum memulai topik pelajaran tertentu. Dengan demikian anak diajarkan untuk memahami garis besar topik pelajaran atau perkuliahan yang akan dibahas, sehingga lebih memudahkan siswa/mahasiswa saat menerima materi di kelas.
Selain itu PR juga bisa berupa review dari mata pelajaran/mata kuliah yang sudah dipelajari sebelumnya, sehingga siswa/mahasiswa bisa menguji kemampuannya dalam memahami pelajaran dan mematangkan konsep materi yang telah diperoleh dari guru atau dosen. Bila perlu, anak diajarkan untuk mencari sumber selain dari buku teks sekolah, namun masih memiliki keterkaitan dengan materi yang telah dipelajari.
Zaman digital seperti sekarang ini, tinggal klik 'cari' pada situs pencari 'Mbah Google', ratusan bahkan ribuan pilihan jawaban akan muncul. Namun tentunya tidak semua sumber relevan untuk dijadikan sumber jawaban. Jangan sampai anak terbiasa dengan budaya 'copy paste' dari sumber-sumber yang tidak valid.
PR hendaknya jangan ditiadakan, tapi dibuat proporsional
Ini hanya sekadar saran saya untuk para pengajar baik guru maupun dosen dan juga pihak pemerintah yang berwenang. Jika memang yang dikhawatirkan adalah anak tidak bisa mendapatkan pendidikan karakter yang cukup jika ada PR, mengapa tidak memodifikasi konsep PR yang diberikan?Â
Alih-alih PR yang bersifat akademis, sesekali PR bisa berupa hal-hal lain yang bisa membangun karakter anak. Misalnya, membuat kliping dari koran/majalah (meski gaya jadul, teknik ini sangat bermanfaat loh), membuat observasi dan laporan yang melibatkan peran keluarga, teman, dan lingkungan sekitar, menulis esai dengan tema tertentu, membuat prakarya, membuat summary dari bacaan atau buku tertentu, membuat dan mempraktikan pidato singkat, dan sebagainya.Â
Tentunya tenggat waktu yang diberikan juga harus masuk akal sehingga anak tidak merasa terlalu tertekan untuk memenuhi deadline, apalagi jika bersamaan dengan ujian atau ulangan.
Jangan sampai maksud dan tujuan baik untuk memberikan anak lebih banyak waktu memperoleh pendidikan karakter, malah membuat anak menjadi malas dan tidak disiplin.
"A genius is a talented person who does his homework" - Thomas A. Edison
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H