Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Layanan Kesehatan Berbasis Daring, Efektifkah?

22 November 2016   10:42 Diperbarui: 22 November 2016   21:41 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: m.tempo.co

Sebenarnya topik ini sudah lumayan lama menjadi bahan perbincangan dan menuai berbagai pendapat pro dan kontra terutama di kalangan tenaga kesehatan. Akan tetapi agaknya kini topik ini kembali marak diperbincangkan di kalangan tenaga kesehatan, terutama setelah munculnya berbagai macam layanan kesehatan berbasis aplikasi yang dilakukan secara online. Baik itu konsultasi dan diagnosa dokter maupun layanan kefarmasian atau biasa disebut Apotek Online.

Saya sempat bertukar pikiran dengan beberapa teman yang juga berprofesi sebagai apoteker. Dan kami sepakat bahwa alasan utama munculnya ide layanan kesehatan berbasis online ini adalah tentunya untuk mempercepat dan mempermudah masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan. 

Ditambah dengan adanya fakta bahwa antrian rumah sakit yang selalu mengular, sulitnya menemui dokter, dan pada akhirnya kembali ke keterbatasan waktu yang dimiliki pasien karena mereka tidak bisa lama-lama meninggalkan pekerjaannya. Tapi apakah kecepatan hanyalah satu-satunya faktor yang diperhitungkan untuk mendasari hal ini?

Jujur, saya sendiri belum mengecek apakah ada regulasi khusus mengenai layanan kesehatan (baik dokter maupun apotek) berbasis online ini. Jadi, jika ada keluhan atau komplain dari pasien, saya juga belum yakin apakah sudah ada payung hukum yang menaunginya. Namun terlepas dari sisi regulasi, saya pribadi merasa tidak setuju, karena akan ada banyak resiko ketika diagnosa pasien dilakukan oleh 'dokter maya' atau penebusan resep ke apotek yang dilakukan secara online. 

1. Tidak Ada Tatap Muka Langsung

Saat dokter mendiagnosa penyakit pasien, tentu ada prosedur pemeriksaan awal yang dilakukan. Pemeriksaan ini mencakup Inspeksi (pengamatan bagian tubuh), Palpasi (pemeriksaan dengan menggunakan indera peraba), Perkusi (mendengarkan suara yang dihasilkan oleh bagian tubuh) dan Auskultasi (pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop). 

Selain itu juga pemeriksaan lainnya seperti berat badan, suhu tubuh dan sebagainya. Pemeriksaan ini tentunya tidak bisa dilakukan ketika tidak ada tatap muka secara langsung. Jika pemeriksaan awal tidak dilakukan dengan benar, tentu diagnosa yang dihasilkan akan berpeluang tidak akurat.

Pernah saya menanyakan kepada salah seorang teman yang menggunakan aplikasi untuk berkonsultasi dengan dokter. Namun setelah dilakukan wawancara / anamnese dasar, sang dokter kembali menganjurkan teman saya untuk datang ke klinik atau rumah sakit untuk diagnosa yang lebih akurat. Lah, jadinya  dua kali kerja dong? Dua kali bayar pula. 

2. Penjelasan Penggunaan Obat Tidak Maksimal

Ini berlaku ketika seorang pasien hendak menebus resep ke apotek. Dalam dunia kefarmasian, ketika pasien hendak menebus resep, langkah pertama yang dilakukan adalah skrining resep. Hal ini mencakup memastikan nama dan alamat dokter yang memberi resep, isi resep, signa/perintah yang dituliskan, dan juga data pasien. 

Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa resep yang disampaikan bukanlah resep palsu dan memenuhi syarat untuk dibuatkan obatnya. Meskipun pada proses penebusan resep secara online dengan meng-upload resep tersebut, tentunya skrining resep tidak bisa dilakukan dengan maksimal.

Pernah dengar kasus resep palsu yang beberapa waktu lalu sempat viral? Di resep tersebut, farmasis diminta untuk menyiapkan obat Petidin (jenis analgesik/penghilang rasa sakit golongan Opiat/narkotik). Untung saja farmasis tersebut menyadari bahwa resep tersebut palsu, sehingga obat tersebut tidak bisa ditebus. Saya berpikir, apakah hal ini mungkin terjadi jika resep yang diterima farmasis hanya berbentuk softcopy?

Selain itu, saat seorang pasien menerima obat dari tenaga farmasi, mereka berhak untuk mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya tentang cara penggunaan, penyimpanan dan pembuangan obat. Apakah informasi ini akan tersampaikan secara sempurna? Saya ragu.

3. Tidak Sepenuhnya Menjangkau Masyarakat Luas

Mengapa saya mengatakan demikian? Karena layanan kesehatan berbasis online pastinya harus melalui aplikasi, dan untuk itu seseorang harus memiliki smartphone. Memang saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa smartphone sudah menjadi kebutuhan dasar. Hampir semua orang punya smartphone. Hampir. Jadi tetap saja ada yang tidak punya.

Lalu yang tidak punya smartphone bagaimana? Ya, tetap saja harus datang langsung ke faskes kan. Dan kemudian para perusahaan penyedia aplikasi berdalih bahwa layanan ini ditujukan bagi masyarakat menengah, dengan tingkat mobilitas tinggi yang hampir tidak bisa meninggalkan pekerjaannya untuk memeriksakan diri ke dokter atau bahkan sekadar berkonsultasi dengan apoteker saat menebus obat ke apotek.

Jadi menurut Anda, apakah layanan kesehatan online ini cukup efektif untuk dijalankan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun