Pernah dengar kasus resep palsu yang beberapa waktu lalu sempat viral? Di resep tersebut, farmasis diminta untuk menyiapkan obat Petidin (jenis analgesik/penghilang rasa sakit golongan Opiat/narkotik). Untung saja farmasis tersebut menyadari bahwa resep tersebut palsu, sehingga obat tersebut tidak bisa ditebus. Saya berpikir, apakah hal ini mungkin terjadi jika resep yang diterima farmasis hanya berbentuk softcopy?
Selain itu, saat seorang pasien menerima obat dari tenaga farmasi, mereka berhak untuk mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya tentang cara penggunaan, penyimpanan dan pembuangan obat. Apakah informasi ini akan tersampaikan secara sempurna? Saya ragu.
3. Tidak Sepenuhnya Menjangkau Masyarakat Luas
Mengapa saya mengatakan demikian? Karena layanan kesehatan berbasis online pastinya harus melalui aplikasi, dan untuk itu seseorang harus memiliki smartphone. Memang saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa smartphone sudah menjadi kebutuhan dasar. Hampir semua orang punya smartphone. Hampir. Jadi tetap saja ada yang tidak punya.
Lalu yang tidak punya smartphone bagaimana? Ya, tetap saja harus datang langsung ke faskes kan. Dan kemudian para perusahaan penyedia aplikasi berdalih bahwa layanan ini ditujukan bagi masyarakat menengah, dengan tingkat mobilitas tinggi yang hampir tidak bisa meninggalkan pekerjaannya untuk memeriksakan diri ke dokter atau bahkan sekadar berkonsultasi dengan apoteker saat menebus obat ke apotek.
Jadi menurut Anda, apakah layanan kesehatan online ini cukup efektif untuk dijalankan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H