Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Pemikiran dan Usaha untuk Tetap Waras

19 Agustus 2018   22:06 Diperbarui: 19 Agustus 2018   22:29 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Ghazwul Fikri" atau perang pemikiran adalah istilah keren yang saya dengar di sekitaran sebelum Krisis Moneter 1997-1998.

Tahun-tahun itu, pergerakan dakwah di kalangan anak muda, khususnya di Bandung sedang tinggi. Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, mengilhami banyak alumnus dari Kairo untuk kemudian mendirikan semacam gerakan sejenis.

Tapi saya takkan membahas gerakan IM beserta turunan-turunannya, biarlah nanti dipisah di tulisan yang berbeda. Saya mau membahas soal ghazwul fikri-nya. Perang pemikiran.

Di era 90-an akhir, sedang gencar-gencarnya premis "hati-hati dengan budaya barat"; sebuah wacana yang wajar terbentuk, sebab generasi Indonesia sedang mabuk tayangan MTV (termasuk saya). Sejak TV swasta yang dipelopori oleh RCTI masuk ke negeri ini, kesempatan untuk melihat secara 'langsung' (meski masih melalui tayangan TV) acara-acara musik dan film begitu luas terbuka.

Maka, semua sektor kemudian berlomba mewanti-wanti semua anak muda Indonesia untuk "hati-hati sama budaya barat, nanti kamu jadi kebarat-baratan", "cintai budaya sendiri, sebab kamu orang Indonesia"; sebab memang remaja zaman itu agaknya lebih betah nongkrongin MTV Morning Mania, disbanding les tari Bali.

20 tahun berlalu, ternyata Ghazwul Fikri masih berlaku dan berlangsung di negara kita tercinta. Apalagi setelah era pilpres Jokowi-Prabowo 2014 hingga sekarang. Kondisi diperparah (jika bisa dibilang begitu) dengan begitu gampangnya media sosial ditunggangi, disusupi, dipengaruhi dan dijadikan alat untuk kepentingan seseorang atau banyak orang.

Perang pemikiran masih berlangsung.

Selayaknya barang dagangan, perang ini dikemas dalam pelbagai bentuk dan gaya. Narasi dan deksripsi penokohan maupun peristiwa dicetak, dibentuk, dibagikan. Tujuannya, tentu untuk memengaruhi, membujuk, dan menggiring opini.

Siapa yang pada hari ini tidak terpaksa berdiri di atas salah satu kubu? Kalau tidak pro-Jokowi, pasti ngikut ke Prabowo. Kalau tidak memuji pemerintah, pasti mencaci habis-habisan.

Orang-orang yang berusaha keras tidak menunjukkan keberpihakanpun (seperti saya, misalnya), susah payah menjaga kewarasan diantara serbuan pelbagai hujatan dan cacian yang terus menerus saling balas membalas, seperti tren balas-balasan lagu di tahun 90-an.

Saya memang memutuskan untuk tidak berpihak, meski itu sulit. "Netral itu tidak ada, yang ada prosentase keberpihakan" kata seorang teman. Dan itu betul. Netral tak ada, yang ada adalah kecenderungan yang ditekan sedemikian rupa, sebab ingin lebih adil memandang dari banyak sisi.

Perang narasi setiap hari, tentu tak lewat begitu saja seperti angin malam. Ada saat-saat dimana saya begitu kesal dan tak habis pikir dengan salah satu kubu, misalnya; hingga akhirnya emosi meletup juga.

Sudah begitu, ketika curhat saya agak 'terbuka', lah masih saja ada komen yang mengatakan,

"Katanya ga boleh nyinyir, kok situ nyinyir?"

Sebenarnya saya pengen jawab,

"Kok situ banyak protes? Kamu mah nyinyirnya tiap hari, aku mah cuman sekali dalam ratusan purnama."

Tapi toh itu takkan berguna. Sebab orang nyinyir biasanya tak sadar kenyinyirannya sendiri.

Maka biasanya akan saya jawab dengan kalimat,

"Ya, saya sedang menggunakan hak saya untuk nyinyir."

Kagok edan.

Demikianlah, perang pemikiran yang disampaikan lewat narasi ilmiah, tak ilmiah, esai pendek dan panjang, sampai brodkes yang tersebar di banyak WAG, membelenggu kebebasan kita-kita ini, yang memang memilih untuk tetap berusaha adil.

Tak peduli orang mau bilang apa, yang penting kewarasan ini tetap terjaga.

Sulit, tentu.

Sementara mereka yang suka nyinyir biasanya hanya bisa copy paste status orang atau menyitir orang lain, nah saya harus memeras otak untuk bisa menyampaikan gagasan saya secara original. Sebab saya tak suka jadi peniru.

Menggelikan, bukan.

Bahkan untuk melancarkan counter-attack dengan benar saja, mereka tak sanggup menulis.

Literasi rendah namun hobi merendahkan orang lain.

Tak paham banyak hal tapi paling sok tahu.

Sementara kita yang setiap hari mewajibkan membaca banyak materi, dipaksa untuk menerima bahwa kita ini "bodoh", "sesat", dan "munafik".

Asem.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun