Pulau Komodo kini sedang menjadi perhatian dunia. Pulau yang memiliki keindahan alam dan satwa liar yang dilindungi organisasi dunia ini tengah mengalami tarik ulur terkait pembangunan lokasi wisata Taman Nasional Komodo.
Di satu sisi, pembangunan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah Pulau Komodo sebagai destinasi wisata internasional. Namun dalam pelaksanaannya, berbagai pihak khawatir hal ini akan berdampak pada kelestarian alam dan satwa liar di sana.
Belum lama ini, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) meminta agar pembangunan lokasi wisata Taman Nasional Komodo, di Nusa Tenggara Timur, dihentikan karena khawatir melanggar prinsip dasar konservasi.
Para pegiat lingkungan pun vokal meminta agar pemerintah Indonesia merombak total apa yang mereka sebut sebagai rancangan pembangunan industri wisata di kawasan itu yang dinilai telah menyalahi prinsip dasar konservasi, lingkungan dan asas kemanfaatan bagi masyarakat setempat.
Menurut Cypri Jehan Paju Dale, antropolog yang pernah meneliti komodo di kawasan itu, komodo akan semakin rentan terhadap krisis iklim, apabila pemerintah membangun kawasan strategis pariwisata nasional, dengan memasukkan bisnis di dalam bentang alami.
Pasalnya, habitat alami komodo sangat khusus sedangkan bentuk kawasan model itu mengharuskan intervensi manusia yang sangat tinggi.
Namun demikian, pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim, pemberian izin wisata Taman Nasional Komodo kepada sejumlah perusahaan swasta dibolehkan dan berkomitmen untuk tetap melibatkan masyarakat setempat.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, juga mengatakan pembangunan proyek yang sebagian besar telah selesai tetap dilanjutkan, termasuk di Pulau Rinca yang sudah mencapai 95%.
Meminta respon serius
Sementara itu, Venan Haryanto, peneliti di Sunspirit for Justice and Peace di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, peringatan UNESCO itu merupakan teguran penting untuk menyelamatkan Taman Nasional Komodo.Â
Venan menegaskan bahwa peringatan tersebut harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah Indonesia dengan mengungkapkan informasi yang menyeluruh kepada publik terkait pembangunan pariwisata di taman itu, baik yang didanai oleh negara maupun pihak swasta.
Menurut dia, pembangunan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dapat membahayakan konservasi juga ekonomi pariwisata yang berbasis komunitas, serta ruang penghidupan warga setempat.
Pendapat senada diungkapkan oleh Aleksander Pelung, pelaku pariwisata dari kalangan masyarakat. Dia berharap peringatan UNESCO mampu menghentikan proyek betonisasi dan pipanisasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, yang tidak sesuai dengan prinsip konservasi.
Dia memaparkan bahwa yang yang menjadi kendala ketika ada bangunan di sana adalah bentangan alamnya berubah. Padahal, lanjut Aleksander, nilai jual pariwisata di Pulau Komodo ialah alam itu sendiri.Â
Terlebih lagi, dalam peraturan sebelumnya tertulis bahwa di Taman Nasional Komodo tidak boleh ada bangunan besar. Peraturan ini menjadi  sangat tidak relevan ketika ada bangunan model itu di sisi lain daerah konservasi.
Menanggapi hal tersebut, Yohanis Fransiskus Lema, Anggota Komisi IV DPR RI, menilai bahwa peringatan UNESCO seharusnya menjadi pelajaran agar pembangunan pariwisata di Taman Nasional Komodo dilakukan dengan berbasis alam berdasarkan perspektif konservasi.
Menurut dia, KLHK semestinya mengambil posisi sebagai benteng terakhir yang menjaga pilar penting konservasi, bukan malah memberi karpet merah kepada investasi.
KLHK, lanjut Lema, malah memberi ruang semakin luas kepada korporasi untuk mengakumulasi profit atau kapital yang justru mencederai lingkungan hidup.
Sebagai informasi, sebelumnya Komite Warisan Dunia dari UNESCO meminta pemerintah Indonesia menghentikan sementara semua proyek infrastruktur di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo.
Kawasan TNK sendiri terdiri atas lima pulau besar dengan populasi komodo terbanyak berada di TNK Loh Liang yang terletak di Pulau Komodo, serta TNK Loh Buaya yang berada di Pulau Rinca.
Dalam Dokumen Komite Warisan Dunia UNESCO Nomor WHC/21/44.COM/7B, yang diterbitkan setelah Pertemuan Komite Warisan Dunia (WHC) UNESCO di Fuzhou, China, 16-31 Juli lalu, mereka beralasan proyek itu berpotensi berdampak pada nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value (OUV).
OUV (Outstanding Universal Values) adalah salah satu kriteria penilaian UNESCO untuk penetapan warisan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H