Banjir yang melanda beberapa kawasan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, memaksa petani panen lebih awal. Yang namanya prematur, tentu akan ada kekurangan dan hasilnya tidak maksimal. Demikian juga dengan gabah petani yang dipanen lebih awal, kualitasnya pun menurun. Namun mereka tidak punya pilihan lain.Â
Bila normalnya gabah bisa dijual seharga RP 4 ribu per kg, kali ini petani harus cukup puas dengan harga sekitar Rp 3600 per kg. Artinya, petani harus menelan rugi. Apalagi bila menghitung biaya perawatan tanaman yang sempat naik karena harga pupuk yang juga naik beberapa waktu lalu.
Kualitas gabah yang jelek juga membuat petani tidak berdaya di hadapan tengkulak. Mereka harus rela menjual dengan harga ditekan, daripada tidak terjual sama sekali. Berdasarkan cerita-cerita di lapangan, tengkulak sering jual mahal pada petani dengan alasan mutu gabah yang buruk sehingga sulit dijual lagi.
Nasib yang serupa juga dialami petani Kulon Progo, Yogyakarta. Sawah 1.076,3 hektare yang mereka tanam terpaksa harus dipanen lebih dini karena diguyur hujan sampai kebanjiran. Padi belum maksimal berbuah karena usia tanam baru 85 hari. Memang rugi, tapi kondisinya sudah terendam air. Selain padi, tanaman hortikultura lain yang terdampak banjir di Kulon Progo adalah cabai dan bawang merah. Luasnya 30,5 hektare, tersebar di Kecamatan Wates, Lendah, dan Sentolo.Â
Sebetulnya nasib petani bisa tidak semerana itu. Andai mereka bisa mendapat bantuan mesin pompa air untuk menguras sawah. Atau petani bisa mendapat bantuan mesin pengering gabah sehingga hasil panennya tidak langsung mendapat vonis busuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H