Hujan itu mengambil tiga per tujuh kesadaran.
Bulir-bulirnya bertebaran di sekitarku yang perlahanÂ
menyisir rambutnya dengan jari.Â
Kami mendengar yang tak mungkin didengar.
"Hidup kita pagi nanti akan berhenti mengerjap. Barangkali, kau penyair, bisa tidak meredakannya."
Aku mengangguk ketika dia tersenyumÂ
dengan mata basah yang menolak karena hujan.
Sebermula pada 'kucing yang jatuh dari ketinggian',
realita kami menunggu di balik pintu.Â
Melebat basah kami,Â
ketika kemarin dan saat iniÂ
saling menghantam. Bahwa sementara aku berjalan semenjanaÂ
untuk kami yang besoknya mengapung di permukaan air mata.
"Puan, kau cantik sekali."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H