Malam itu suasana desa tampak sepi seperti biasanya. Raungan serigala dan hewan-hewan jalang sesekali melengking. Burung hantu berceloteh seolah ingin menguasai panggung kegelapan. Angin bertiup sepoi senada dengan dentingan waktu yang menggema, Muti’ah keluar dari rumah, menerobos gelapnya malam menuju bawah pohon tempatnya bernostalgia dengan jelmaan dari Kang Masnya.
Badar, salah salah satu warga desa tak sengaja memergokinya sedang berjalan menuju bawah pohon besar tempatnya bernaung. Heran melihat seorang gadis di tengah malam keluar rumah seorang diri, menuju pohon besar, pohon beringin, berada di tepian jurang yang amat curam, dimana tiada satupun tangan manusia yang pernah menjamahnya. Dengan rasa penasaran yang menyeruak hatinya, ia pun diam-diam mengikutinya. Heran bukan kepalang dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Muti’ah, gadis yatim piatu itu berbicara panjang lebar, meluapkan semua emosi dalam hatinya. Badar mengerjapkan mata, tak ada seorang pun disana kecuali Muti’ah. sekali lagi badar mengerjapkan matanya, tetap tak ada orang disana, jika dia hanya seorang diri, lantas dengan siapakah dia berbicara, Badar masih menerka-nerka.
Malam selanjutnya, Badar kembali menguntit Muti’ah. berbeda dengan malam sebelumnya, kali ini Badar menguntit dengan beberapa warga desa yang juga ingin tahu perihal kelakuan Muti’ah. Tak butuh waktu lama mereka menunggu, Muti’ah keluar rumah dengan wajah yang berbinar, memandang lembar foto yang ada di genggaman tangannya.
Dalam foto itu terlihat dua orang yang tengah berbahagia di tengah-tengah binar siluet senja. Seorang gadis berwajah oriental, khas wajah gadis Indonesia dengan lesung pipit di kedua pipinya yang menambah keayuan wajah gadis tersebut, tampak seorang pria tampan disampingnya, tengah memandang ke arah gadi berwajah oriental dengan pandangan yang tajam namun begitu hangat. Menggenggam erat tangan si gadis oriental seakan tak ingin melepaskan gadis tersebut.
Ia sibuk memandangi foto yang ada di tangannya, memutar kembali kenangannya bersama Mada. Jiwanya tak terbatas, bebas untuk mengulang waktu, waktu dimana pertama kali Mada mengungkapkan niat sucinya untuk meminang Muti’ah.
“ Kau tahu mas, mengapa ku bawa foto ini?” ucapnya seraya menegadahkan tangan yang membawa foto ke arah gelapnya langit malam.
“ Aku hanya ingin kau tahu mas, bahwa aku tak akan pernah melupakan setiap kenangan yang telah terukir diantara kita.”
“ Meski kau jauh disana, Aku yakin kau pun tahu, Aku merindukan mu Mas!!!”
“ Apa Kau disana juga merindukan ku Mas??”
“jawab aku Mas, setidaknya berikan aku isyarat bahwa kau jua rindu pada ku!!” suara nya mulai meninggi.
“ Katakan Mas, Apa Kau tak rindu padaku??”