Sebuah asumsi mengatakan bahwa wajah kehidupan itu berganda, ia memiliki dua sisi, sisi yang pertama ditampakkan dengan kemudahan, keberhasilan, kesuksesan, kejayaan, sedang sisi yang lainnya ditampakkan dengan kemelaratan, kegagalan, kepedihan. Kedua sisi tersebut sangat dekat dengan kehidupan dan pasti pernah dialami dalam kehidupan.
Buku ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana orang-orang yang terus-menerus merasa kekurangan dan mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan. Bagaimana ketidaksiapan mereka dalam menjalani tuntutan dan tekanan yang berakibat pada penempatan kepasrahan tidak pada tempatnya dan pemaksaan untuk menipu diri sendiri. Sebuah ironi kehidupan yang tersirat dalam bibir tersenyum, hati menangis.
Bibir tersenyum, hati menangis. Tak ubahnya telah mengajarkan kita untuk menipu diri kita. Banyak hal yang tanpa disadari telah memaksa kita untuk menipu diri sendiri. Kita dipaksa untuk mengulas sebuah senyuman ketika perasaan kita bahkan sedang dirundung kepiluan. Kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bahkan hati kita menolaknya, kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani kita. Banyak hal yang menuntut kita untuk dipaksa, dan semua itu bermuara pada permasalahan yang disebabkan oleh tekanan dan tuntutan hidup.
Islam melarang manusia untuk berbuat munafik, oleh karenanya, melalui buku ini penulis penulis memberikan sebuah terapi psikologis berbasis nalar islam yang akan mengatasi permasalahan-permasalahan, sehingga manusia tidak sampai terjerumus ke dalam jurang kemunafikan.
Tidak ada permasalahan tanpa adanya penyelesaian. Tidak ada seorang pun yang tidak pernah merasakan dilema. Keadaan yang dilematis akan mendorong berbagai perasaan negatif dan perwujudan dari perasaan negatif yaitu kebingungan, keragu-raguan, kecemasan dan keputusasaan. Oleh karenanya buku ini juga memaparkan bagaimana cara kita menyikapi dan memahami hidup serta pemecahan masalah berbasis nalar islam kontemporer.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk keluar dari zona perasaan negatif. Cara yang paling mudah dan paling mendasar adalah membersihkan pikiran dan hati dari hal-hal yang bersifat negative. Permasalahan yang muncul dalam diri merupakan manifestasi dari perasaan negatif yang bersarang dalam hati. Muhasabah diri, Proses muhasabah diri akan membawa kita untuk bersiap Menjadi diri sendiri. Ketika kita tidak menjadi diri sendiri maka kita pasti mengalami kerugian karena menjadi orang lain sama saja dengan hidup kita dikendalikan oleh orang lain.
Kenyataan yang tak selalu seperti apa yang diinginkan, Menyikapi hidup dengan bijak adalah cara yang paling ampuh, apabila kita memaknai kesulitan, tekanan dan penderitaan hidup sebagai suatu siksaan hidup, maka disaat itu kita harus berhati-hati karena tanpa disadari kita berada di tepian jurang yang curam, jika tetap bertahan pada posisi itu, kapanpun kita bisa saja terjatuh kedalam jurang kegagalan. Satukan hati dan pikiran agar lebih bijak dalam menyikapi permasalahan hidup, sedikit saja kecerobohan maka akan menyebabkan kegagalan.
Setelah membawa kita kepada kesadaran bahwa kenyataan tak selalu sama seperti apa yang kita harapkan bahkan sulit untuk diterima, selanjutnya buku ini akan mengajak kita untuk memahami hasrat yang secara inheren berada pada diri setiap orang. Muhammad muhyidin menganggap hasrat adalah sesuatu yang penting karena manusia adalah makhluk yang tak pernah bisa lepas dari keinginan, dan keinginan merupakan cerminan dari hasrat. Hasrat selalu menghendaki kemunculan hasrat yang baru dan selamanya tak bisa terpuaskan, dua sifat yang menjadikan kita tidak menyadari akan jebakan-jebakan hasrat.
Hidup itu harus berprinsip, dengan prinsip teguh kita bisa meluruskan hati dan pikiran kita dari segala perasaan-perasaan negatif. Kekuatan prinsip bisa membawa kita keluar dari kungkungan kejahilan, saat dimana kalah dengan hasrat yang tidak mampu kita kuasai sehingga menyebabkan perasaan tertekan dan tekanan dalam hidup. Apa yang menjadi pilihan kita adalah apa yang telah menjadi prinsip kita.
Tidak ada yang memaksa mengapa kita melakukan ini?, kenapa kita harus bersikap seperti itu? Karena muara dari apa yang kita lakukan adalah tuntutan dan tekana hidup, apabila kita merasa tak mampu memenuhi tuntutan dan tekana hidup maka kita akan serasa di paksa dalam mengerjakan sesuatu. Oleh karenanya dalam menjalani kehidupan kita harus berprinsip. Maka kita akan mengerjakan sesuatu dengan prinsip yang telah kita pilih. Dengan begitu, tidak akan ada beban dan perasaan berat ketika kita mengerjakan sesuatu, karena sesuatu itu adalah pilihan kita.
Jika sudah seperti ini Pada akhirnya bibir tersenyum, hati menangis tidak akan teraplikasikan dalam kehidupan dan tergantikan dengan senyumnya bibir, senyumnya hati, sebuah pilihan hidup yang semstinya terjadi. Senyumnya bibir, senyumnya hati mengajarkan keseimbangan antara apa yang dikatakan akal dengan apa yang dikatakan hati, sehingga tidak ada paksaan dalam mengerjakan sesuatu.
Sifat yang ambivalen akan berimplikasi pada penyelasan di kemudian hari, sebab ia menjadikan kita untuk menjadi orang lain. Terbiasa untuk mengulas sebuah senyuman ketika hati menangis, terbiasa berkata “baik-baik saja” ketika hati mengatakan bahwa sebenarnya sedang mengalami kesulitan. Sikap sepeti inilah yang kemudian akan menjatuhkan kita di kemudian hari.
Akhir kata, perlu kiranya ditanamkan pemahaman tentang bagaimana hati kita dikuasai oleh perassan negatif sehingga menyebabkan kita seolah terpaksa dan terbiasa mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, agama dan akal sehat. Menjadikan kita terbiasa hidup dalam kepura-puraan yang akhirnya merelakan integritas jati diri. Buku ini juga memaparkan manajemen psiokologi berbasis nalar islam, penyelesaian masalah berdasarkan nalar islam kontemporer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H