Di hari yang cerah itu, sebuah desa kecil di Indonesia dipenuhi dengan semangat yang membara. Orang-orang berkumpul di lapangan terbuka, mengenakan pakaian tradisional, dan membawa bendera merah putih sebagai tanda kebanggaan mereka sebagai warga negara Indonesia. Mereka semua berkumpul untuk memperingati Hari Kelahiran Pancasila, fondasi ideologi negara yang mereka cintai.
Di antara kerumunan orang, terdapat seorang laki-laki tua yang duduk di bawah pohon beringin tua yang menjulang tinggi. Dengan tatapan penuh harap, ia mengamati peringatan yang sedang berlangsung. Laki-laki tua itu bernama Pak Joko, seorang mantan pejuang kemerdekaan yang memiliki pengalaman panjang dalam memperjuangkan nilai-nilai Pancasila.
Tiba-tiba, seorang pemuda berpakaian rapi menghampiri Pak Joko dengan hormat. "Selamat pagi, Pak Joko," sapanya sambil membungkukkan badan.
Pak Joko tersenyum dan menjawab, "Selamat pagi, anak muda. Apa yang bisa aku bantu?"
Pemuda itu mengangguk dan berkata, "Saya ingin belajar tentang Pancasila, Pak. Bagaimana cara menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari?"
Pak Joko memandang pemuda itu dengan tajam, lalu berkata dengan bijaksana, "Anak muda, Pancasila itu seperti bintang yang bercahaya di langit malam. Setiap nilai di dalam Pancasila, seperti sinar-sinar kecil yang membimbing kita dalam kehidupan ini."
Pemuda itu memandang Pak Joko dengan penasaran, lalu bertanya, "Apa yang dimaksud dengan sinar-sinar kecil itu, Pak?"
Pak Joko tersenyum sambil memberikan contoh.
"Lihatlah sinar pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti cahaya matahari yang memberikan kehidupan bagi semua makhluk, kita juga harus selalu menghormati dan menghargai keberagaman agama. Ingatlah, meskipun berbeda, kita semua bersama-sama di bawah naungan Tuhan yang sama."
Pemuda itu mengangguk, menyadari betapa pentingnya sikap saling menghormati.
"Lalu sinar kedua, Pak?" tanyanya antusias.
Pak Joko menjawab dengan tegas, "Kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti sinar bulan yang memberikan cahaya lembut di malam hari. Kita harus memperlakukan semua orang dengan adil dan beradab, tanpa memandang suku, agama, ras, atau status sosial. Ingatlah, kebaikan dan keadilan harus menjadi landasan dalam interaksi kita dengan sesama."
Pemuda itu tersenyum paham, lalu bertanya lagi, "Bagaimana dengan sinar-sinar lainnya, Pak?"
Pak Joko menatap ke langit biru dan menjawab, "Ketiga, Persatuan Indonesia, seperti sinar bintang yang bersatu membentuk sebuah rasi. Kita harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini, menjauhkan diri dari perpecahan. Ingatlah, kekuatan kita terletak pada persatuan kita sebagai bangsa."
"Paham, Pak. Lalu sinar keempat dan kelima?" tanya pemuda itu semakin tertarik.
Pak Joko tersenyum penuh harap, lalu menjawab, "Sinar keempat adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, seperti sinar api unggun yang membawa hangat dan kekuatan. Kita harus menghargai demokrasi dan mengambil keputusan yang bijaksana untuk kemajuan bersama. Sedangkan sinar kelima adalah Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti sinar pagi yang memberikan harapan baru setiap hari. Kita harus memastikan bahwa keadilan sosial dirasakan oleh semua warga negara, tanpa terkecuali."
Pemuda itu mengangguk dengan penuh semangat, merenungkan kata-kata Pak Joko. Ia menyadari betapa dalamnya makna Pancasila dan betapa pentingnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah percakapan yang berharga itu, pemuda itu pun bergabung dengan kerumunan yang sedang memperingati Hari Kelahiran Pancasila, dengan tekad yang bulat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.[]
Lampung, 01 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H