Hampir tidak ada negara di dunia yang terlepas dari utang. Bahkan perusahaan multinasional pun masih mengandalkan utang sebagai pendukung investasi dan operasionalnya.
Selama ini pemerintah berusaha meningkatkan capaian penerimaan melalui pajak, bea cukai, hibah dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, jumlahnya tidak mencukupi keseluruhan belanja negara. Defisit ini harus ditutup melalui pembiayaan, salah satunya adalah melalui utang.
Prioritas nasional saat ini adalah percepatan dan pemerataan pembangunan infrastruktur. Janji dan kewajiban negara kepada rakyat ini membutuhkan dana yang sangat besar, tetapi terkendala kapasitas APBN yang terbatas.
Selama utang digunakan untuk secara produktif seperti pembangunan infrastruktur (termasuk kesehatan dan pendidikan) yang berdampak positif bagi sosial ekonomi masyarakat, utang bukan hal yang perlu ditakutkan.
Alasan utama pemerintah berutang adalah untuk kesejahteraan rakyat. Sama seperti ketika seorang kepala keluarga yang membeli rumah melalui KPR, rumah tersebut pada ujungnya adalah untuk kesejahteraan keluarganya.
Hal yang terpenting adalah utang tersebut produktif bukan konsumtif. Contohnya saja pembangunan Jalan Tol Jagorawi lebih dari 40 tahun yang lalu dengan menggunakan utang.
Hingga saat ini jalan tersebut masih ada dan terus memberikan manfaat. Utangnya sudah tertutup dari hasil jalan itu. Malah sampai sekarang masih menguntungkan.
Utang juga dapat mempercepat penerimaan manfaat pembangunan. Jika menunggu penerimaan negara terkumpul, untuk membangun jalan Tol Trans Jawa misalnya, akan membutuhkan waktu bertahun-tahun sehingga baru bisa dinikmati 25 tahun mendatang.
Dengan berutang, manfaat dari keberadaan jalan tersebut bisa dirasakan dalam 5 tahun. Selama dikelola dengan baik, utang merupakan pembiayaan alternatif yang hasilnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Menilai beban utang tidak bisa dilihat semata dari jumlahnya saja, tetapi juga harus dilihat dari presentase kekayaan. Sepanjang rasio utang terhadap PDB masih dalam batas wajar, utang tidak akan membebani anggaran negara.
Sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa utang negara akan membebani anak cucu. Padahal, sepanjang utang tersebut digunakan secara produktif, justru akan membawa angin segar.
Dengan utang, anak cucu kita akan bisa punya pendidikan dan pekerjaan yang baik. Kalau mereka semakin kuat baik secara kesehatan, mental, maupun finansial, Â harusnya utang menjadi sesuatu yang ringan. Sementara kalau mereka lemah, jangankan utang Rp 10 juta, Rp 1 juta saja sudah terasa berat.
Selain itu, utang negara berbeda dengan utang pribadi. Utang pribadi harus dilunasi oleh keluarganya begitu orang tersebut meninggal, sementara negara diciptakan untuk eksis selamanya. Dengan begitu, akan banyak skenario untuk mengelola utang, misalnya melalui restrukturisasi pembiayaan.
Meski berutang dalam jumlah besar, negara maju seperti Jepang mampu mengelola strategi pembiayaan dengan baik. Sebagian besar utangnya dimiliki oleh rakyatnya sendiri.
Berkaca dari hal tersebut, pemerintah mendorong agar basis investor domestik meningkat. Dengan begitu, pembiayaan pemerintah akan semakin mandiri dan terhindar dari risiko kurs atau hot money.
Pada beberapa kali penerbitan ORI dan Sukuk Ritel, minat beli masyarakat terlihat tinggi, meski kondisi pasar keuangan masih dipengaruhi ketidakpastian ekonomi global. Penerbitan SBN ritel yang selalu oversubscribed menandakan bahwa fitur-fitur yang ditawarkan menarik dan sesuai kebutuhan investor
Khusus untuk Sukuk Negara Ritel, kelebihan permintaan menandakan besarnya keinginan investor untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur, mengingat underlying asset-nya berupa proyek-proyek infrastruktur.
Meski begitu, pemerintah, pemerintah juga perlu waspada dengan tingkat bunga yang diberikan. Kalau tingkat bunga SBN lebih tinggi dari pasar, wajar kalau oversubscribe. Tetapi jangan sampai swasta tidak kebagian investasi karena mereka akan menaikkan imbal hasilnya sehingga berpotensi menimbulkan crowding out effect.
Selain itu, tingginya minat masyarakat untuk membeli SBN tidak boleh menjadikan pemerintah malas mengejar pajak. Utang tidak boleh berlebihan, kita tetap harus mengoptimalkan penerimaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H