Mohon tunggu...
irma dewi
irma dewi Mohon Tunggu... Editor - ASN

Praktisi komunikasi dan kehumasan pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Masalah Barang Bawaan Penumpang Pesawat

8 Maret 2019   21:43 Diperbarui: 11 Maret 2019   22:23 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: en.silkroad.news.cn

Setiap kegiatan memasukkan barang dari luar ke dalam negeri merupakan proses impor barang. Lalu lintas barang yang beredar di wilayah NKRI perlu diawasi, guna melindungi masyarakat dan industri dalam negeri.

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran gaya hidup di masyarakat, termasuk dalam hal konsumsi. Bagi banyak orang, berbelanja bukan sekadar membeli barang kebutuhan, tetapi juga sebuah pengalaman yang menyenangkan.

Meningkatnya jumlah kelas menengah membuat wisata belanja kian populer. Sudah biasa kita jumpai wisatawan Indonesia yang berpergian ke luar negeri sambil berbelanja. Setidaknya mereka akan membawa oleh-oleh khas negara yang dikunjungi.

Hobi belanja tentu sah-sah saja. Namun perlu disadari bahwa membawa barang dari luar negeri, meski untuk keperluan pribadi, juga termasuk kegiatan impor. Sebab itu, agar dapat membawa barang dari luar negeri dengan nyaman, alangkah baiknya bila kita semua memahami ketentuan barang bawaan penumpang yang berlaku di Indonesia.

Ketentuan Barang Bawaan

Aturan seputar barang bawaan penumpang sudah berlaku sejak tahun 2010. Namun, ketentuan ini kembali menjadi sorotan paska viralnya video petugas bandara yang sedang memeriksa barang bawaan penumpang pada pertengahan tahun lalu. Dalam video tersebut, tampak petugas mendapati pasangan suami istri yang membawa barang belanjaan dari luar negeri berupa tas mewah.

Nilai tas tersebut melebihi batas yang dipersyaratkan agar bisa bebas dari pengenaan bea masuk barang impor. Meski digunakan untuk keperluan pribadi, namun barang tersebut tetap dikenakan bea masuk dan ketentuan sesuai ketentuan. 

Tak urung, video tersebut menjadi perbincangan berbagai elemen masyarakat. Ada yang memaklumi dan menganggap bea masuk wajar saja, ada pula yang merasa keberatan lantaran barang yang dibelinya hanya untuk penggunaan pribadi. Selain itu, nilai batas barang yang dikenakan bea masuk dianggap sudah tidak sesuai perkembangan zaman.

Sebenarnya pemerintah memiliki aturan yang jelas terkait barang bawaan penumpang. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang Yang Dibawa Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas dan Barang Kiriman.

Pada dasarnya, barang bawaan penumpang dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, barang bawaan penumpang yang bukan termasuk barang dagangan. Misalnya barang untuk keperluan pribadi selama di perjalanan, barang yang dibeli atau diperoleh di luar negeri dan tidak akan dibawa lagi keluar negeri. Kedua, adalah barang dagangan yaitu barang yang menurut jenis, sifat, dan jumlahnya tidak wajar untuk keperluan pribadi, diimpor untuk tujuan diperjualbelikan, barang contoh, bahan baku, dan/atau barang yang akan digunakan untuk selain tujuan pribadi.

Untuk kedua barang tersebut, penumpang wajib menyampaikan barang impor yang dibawanya kepada petugas bea dan cukai dengan menggunakan pemberitahuan customs declaration (CD) untuk barang pribadi penumpang dan pemberitahuan impor barang (PIB) untuk barang dagangan.

Barang pribadi penumpang akan dibebaskan dari bea masuk dan cukai apabila nilainya tidak melebihi USD250 per orang pribadi atau USD1.000 per keluarga. Bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) hanya akan dikenakan jika barang bawaan tersebut nilainya melebihi batasan yang dipersyaratkan.

Adapun jenis dan jumlah barang bawaan yang dibebaskan dari bea masuk dan cukai adalah 25 batang cerutu, 200 batang sigaret, 10 gram tembakau iris, dan 1 liter minuman alkohol. Jika barang yang dibawa melebihi jumlah yang ditentukan, maka kelebihannya akan langsung dimusnahkan oleh DJBC dengan atau tanpa disaksikan penumpang yang bersangkutan.

Kaji Ulang Nilai Batas

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi menjelaskan, mengawasi barang bawaan penumpang merupakan salah satu fungsi DJBC sebagai industrial assistance dan community protector. Tujuan dari ketentuan impor barang bawaan penumpang adalah memberi prinsip keadilan dan perlindungan industri dalam negeri.

Jika barang bawaan penumpang dengan nilai batas tertentu tidak dikenakan bea masuk dan pajak, sedangkan barang produksi dalam negeri dikenakan pajak, maka industri dalam negeri tidak akan dapat bersaing dari sisi harga.

Selain harus melindungi industri dalam negeri, DJBC juga bertugas melindungi masyarakat dari masuknya barang larangan atau pembatasan, bahkan dari bahaya narkotika, psikotropika, dan precursor (NPP) yang sering menggunakan jalur barang penumpang untuk masuk ke Indonesia.

Dijelaskan Heru lebih lanjut, pengenaan batas barang pribadi penumpang yang diberikan pembebasan, atau dikenal dengan istilah de minimus value, merupakan salah satu praktik yang lazim di dunia internasional. Sesuai standar yang diberekomendasikan World Custom Organization (WCO) berdasarkan The Revised Kyoto Convention, de minimus value dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan pendapatan masyarakat.

Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai, Badan Kebijakan Fiskal, Nasruddin Djoko menambahkan, nilai batasan di setiap negara berbeda-beda. Konsep de minimus value tidak hanya berlaku untuk barang impor yang dibawa penumpang maupun kiriman, melainkan juga bagi negara perbatasan. "Kan kita punya perbatasan dengan Malaysia, Filipina, Papua Nugini, maupun Timor Leste. Itu de Minumus-nya beda-beda,"kata Djoko.

Meski begitu, Heru mengatakan bahwa pemerintah berencana menyesuaikan nilai de minimus value. Beberapa dasar pertimbangannya antara lain komparasi dengan negara-negara lain, nilai barang penumpang berdasarkan custom declaration pada beberapa bandara utama, dasar perhitungan bea masuk dan pajak, serta perhitungan Consumer Index Price dan Gold Index Price.

Sementara itu, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno Hatta, Erwin Situmorang mengatakan, ada dampak lain dari adanya peningkatan lalu lintas orang dari dan/atau ke luar negeri. Salah satunya adalah adanya potensi peralihan jasa borongan, yang seharusnya dapat dikategorikan sebagai barang dagangan, menjadi barang bawaan pribadi penumpang untuk menghindari pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor.

           

Tanggapan Dunia Usaha

Menanggapi hal tersebut, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, penentuan nilai batas barang bawaan penumpang yang adil harus dilakukan berdasarkan riset yang benar sesuai kondisi saat ini. Dengan begitu, aturan ini tidak membuat penumpang merasa diperangkap dan malah membuat keributan baru di bandar udara. "Kalau barang yang dibawa memang mencolok seperti tas senilai Rp200 juta, okelah harus ada justifikasi. Tetapi kalau misalnya hanya sekedar telepon genggam senilai Rp10 juta, menurut saya menjustifikasinya harus lebih bijak," ujar Hariyadi.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta menambahkan, melindungi industri dalam negeri sebenarnya bisa dengan jalan lain, misalnya dengan menentukan regulasi yang membuat industri menjadi lebih efisien.

Tutum mencotohkan, ada pengusaha ritel yang membuka keagenan dan distributor salah satu produk telepon seluler. Namun, aturan yang ada membuat verifikasi usahanya membutuhkan waktu yang lama sehingga barang tersebut baru masuk Indonesia dua periode berikutnya. "Kalau begitu ya orang berbondong-bondong mencarinya di luar negeri," kata Tutum. "Kalau industri dalam negeri dari hulu ke hilir sudah punya segalanya, siapa yang mau belanja di luar negeri? Apalagi jika harganya kompetitif dan produknya sudah yang terbaru," katanya.

Tutum menuturkan, sebagai pengusaha ritel ia merasa sudah dilindungi berkali-kali dan tidak keberatan jika batas nilai barang bawaan penumpang disesuaikan. Menurutnya, pengawasan barang bawaan penumpang menyangkut banyak sektor, sehingga bisa jadi berlebihan jika hanya ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri. "Saya harus rasional. Beli satu sepatu olahraga saja kan sudah sekitar Rp2 juta. Selain itu, jika ada barang kebutuhan pribadi yang tidak tersedia di Indonesia, saya juga harus memahami kesulitan orang." tuturnya

Untuk kenyamanan setiap pihak, Hariyadi mengusulkan untuk dibuat semacam pencatatan uang dan barang masuk dan keluar. Catatan tersebut kemudian disesuaikan dengan profil penumpang dan SPT tahunannya. "Prinsipnya masyarakat membayar PPh pribadi. Kalau kemudian dia mau belanja itu urusan pribadinya, dong. Kalau jumlahnya tidak masuk akal untuk keperluan pribadi dan penghasilannya, baru kita saring lagi," ujar Hariyadi. "Selain menghindari pungutan liar dan keributan yang tidak perlu, negara juga tidak akan kehilangan profil Wajib Pajak yang sebenarnya, ujar Hariyadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun