Mohon tunggu...
irma dewi
irma dewi Mohon Tunggu... Editor - ASN

Praktisi komunikasi dan kehumasan pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Masalah Barang Bawaan Penumpang Pesawat

8 Maret 2019   21:43 Diperbarui: 11 Maret 2019   22:23 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: en.silkroad.news.cn

Tanggapan Dunia Usaha

Menanggapi hal tersebut, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, penentuan nilai batas barang bawaan penumpang yang adil harus dilakukan berdasarkan riset yang benar sesuai kondisi saat ini. Dengan begitu, aturan ini tidak membuat penumpang merasa diperangkap dan malah membuat keributan baru di bandar udara. "Kalau barang yang dibawa memang mencolok seperti tas senilai Rp200 juta, okelah harus ada justifikasi. Tetapi kalau misalnya hanya sekedar telepon genggam senilai Rp10 juta, menurut saya menjustifikasinya harus lebih bijak," ujar Hariyadi.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta menambahkan, melindungi industri dalam negeri sebenarnya bisa dengan jalan lain, misalnya dengan menentukan regulasi yang membuat industri menjadi lebih efisien.

Tutum mencotohkan, ada pengusaha ritel yang membuka keagenan dan distributor salah satu produk telepon seluler. Namun, aturan yang ada membuat verifikasi usahanya membutuhkan waktu yang lama sehingga barang tersebut baru masuk Indonesia dua periode berikutnya. "Kalau begitu ya orang berbondong-bondong mencarinya di luar negeri," kata Tutum. "Kalau industri dalam negeri dari hulu ke hilir sudah punya segalanya, siapa yang mau belanja di luar negeri? Apalagi jika harganya kompetitif dan produknya sudah yang terbaru," katanya.

Tutum menuturkan, sebagai pengusaha ritel ia merasa sudah dilindungi berkali-kali dan tidak keberatan jika batas nilai barang bawaan penumpang disesuaikan. Menurutnya, pengawasan barang bawaan penumpang menyangkut banyak sektor, sehingga bisa jadi berlebihan jika hanya ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri. "Saya harus rasional. Beli satu sepatu olahraga saja kan sudah sekitar Rp2 juta. Selain itu, jika ada barang kebutuhan pribadi yang tidak tersedia di Indonesia, saya juga harus memahami kesulitan orang." tuturnya

Untuk kenyamanan setiap pihak, Hariyadi mengusulkan untuk dibuat semacam pencatatan uang dan barang masuk dan keluar. Catatan tersebut kemudian disesuaikan dengan profil penumpang dan SPT tahunannya. "Prinsipnya masyarakat membayar PPh pribadi. Kalau kemudian dia mau belanja itu urusan pribadinya, dong. Kalau jumlahnya tidak masuk akal untuk keperluan pribadi dan penghasilannya, baru kita saring lagi," ujar Hariyadi. "Selain menghindari pungutan liar dan keributan yang tidak perlu, negara juga tidak akan kehilangan profil Wajib Pajak yang sebenarnya, ujar Hariyadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun