Suma, Aku SampaiÂ
Sampai di sana, aku berusaha mencari rumah penginapan selama aku tinggal di kota. Ya, salah satu rumah itu adalah temanku, Eca.Â
Saat itu Eca sedang sakit dan dia sepertinya sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Tubuhnya yang kurus membuat diriku lebih bersyukur karena memang kebetulan aku juga orang yang kurusan. Berbeda dengan adiknya yang memiliki tubuh agak gemuk dan dia sangat suka iseng dengan kakaknya sendiri.
Kami dulu satu organisasi di PMII namun beda universitas di kota ini. Aku jadi teringat saat ada PKD yang diselenggarakan oleh PMII waktu itu. Awalnya aku malas sekali untuk ikut hingga sampai ini aku bersyukur banget karena aku bisa merasakan pengalaman selangka itu.
Setelah sampai, malam itu aku mengabari dan mengajak Suma untuk ketemuan. Namun jawabannya, ya begitulah. Suma seperti berlagak seperti tidak ingin menemuiku dengan alasan yang entah ia karang sendiri.Â
Suma masih dengan sikapnya yang cuek. Entah berapa kali dia rajin menolak dan menunda acara jika aku ingin. Hal itu kadang membuatku tidak bisa tidur karena merasakan overthingkig yang sangat.Â
Seperti malam tadi. Aku jadi merasa malas menemuinya hari ini. Aku seperti tidak diistimewakan di antara jadwalnya yang lain. Meski begitu perempuan ini teramat merindukanmu dahulu.Â
Rumah Eca sangat dingin. Daerah ini memang didominasi perairan sungai. Rumah Eca sendiri pun berdirinding di atas air. Semalam aku begitu erat memeluk selimut bersamaan rasa kecewa yang Suma berikan.
Cahaya pagi yang indah. Hampir setiap aku berada di penginapan aku tidak melewatkan pemandangan indah di jendela kamar.Â
Rumah ini terbuat dari kayu yang kuat. Ibu Elsa mengatakan rumahnya pernah kebanjiran.Â
Sungguh membahagiakan melihat keluarga Eca yang harmonis. Ayah dan ibunya menurutku mereka baik-baik saja. Hanya kudengar sedikit pertengkaran kecil karena ibu Eca melakukan kesalahan karena upah jahitannya yang salah ukuran.Â