Mohon tunggu...
Irhyl R Makkatutu
Irhyl R Makkatutu Mohon Tunggu... lainnya -

Irhyl R Makkatutu, lahir diBulukumba, anak ketiga dari empat bersaudara, Warga Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra (IPASS) Sulsel

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penanda di Enam Agustus

5 Agustus 2015   20:30 Diperbarui: 5 Agustus 2015   20:30 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-----untuk Evi Ervina

Mimpi itu datang lagi. Mengoyak segala sisi sadar. Berputar dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Lalu berhenti pada satu titik yang berubah jadi samar. Dalam semalam aku bisa terjaga tiga kali karena mimpi tersebut. Kehadirannya seolah untuk mengabarkan satu hal yang tak pernah bisa ditemukan. Hanya berlangsung kurang lebih tujuh menit dan aku akan terjaga dengan rasa hangat di tubuh. Serupa sedang dipeluk seseorang dari belakang. Tak ada rasa takut apalagi keringat yang mengucur. Lebih-lebih lagi napas yang ngos-ngosan. Aku terjaga dengan rasa hangat yang manja.

Pada mimpi itu, aku melihat sepasang kekasih saling menumbuhkan cinta. Keduanya baru saja ikrarkan cinta dengan ijab kabul. Lalu mereka memasuki sebuah kamar. Aroma bunga menyambut mereka dan kemesraan saling menikam dari tatapan keduanya. Senyum mengembang kempis disertai debaran.

Keduanya berangkulan. Saling memberi kehangatan dalam gigil. Saling memahami dan berbagi napas. Segala larangan adat tak lagi jadi halangan. Tak ada merintangi mereka berbagi keromantisan. Keduanya jadi sepasang kekasih, dari dan kepada cinta.

“Aku lelakimu dan kau perempuanku, tak terpisahkan bahkan oleh kematian”

“Aku perempuanmu dan kau lelakiku, tak tergantikan oleh apa dan siapa,”

Waktu terasa sempit bagi mereka yang saling membutuhkan dan waktu tak pernah cukup bagi mereka yang saling mencintai. Waktu keduanya terasa cepat berlalu. Berpuluh tahun kemudian salah satu dari mereka pergi untuk kembali darimana ia datang.

Si lelaki pulang duluan menuju titik berangkatnya. Bukankah pulang adalah kembali ke titik di mana kita berangkat. Maka berangkatlah si lelaki meninggalkan kekasihnya yang meraung tangis tak tertahankan. Sedih meremas rakus seluruh tubuhnya. Matanya ditumbuhi kamboja. Aku tak sanggup menatap mata perempuan itu, hingga akhirnya aku terjaga.

Pada mimpi yang lain. Aku melihat jutaan pintu berjejer. Tiap ruangan terdapat satu pintu yang hanya bisa dilalui jika sudah saatnya. Dan jika sudah berhasil melewatinya, tak ada lagi alasan untuk kembali. Pintu itu, tak menerima yang ingin berjalan pulang. Aku menyaksikan seorang perempuan mendekam pada sebuah ruang tanpa cahaya. Tak ada suara selain suara detak jantung--yang antara haru dan resah. Tubuhnya lemah seakan tanpa tulang. Tak pernah ada yang menjenguknya. Ia sendiri—menyepi tanpa kata. Sesekali ia berontak untuk keluar dari ruangan itu, tapi waktunya belum sampai. Ia masih harus menunggu, mempersiapkan segalanya untuk memulai babakan baru dalam hidupnya. Serupa kepompong yang akan berubah kupu-kupu. Harus mempersiapkan sayap dan warnanya sendiri.

Ia telah saksikan banyak pintu terbuka, tapi bukan untuknya. Ia tak diberi kuasa untuk memilih. Ia harus belajar menerima takdirnya, apa dan bagaimana pun itu dan di pintu mana ia akan keluar. Ia juga tahu tak ada lagi jalan kembali setelah ia keluar di ruangan itu.

Resah mewarna di wajahnya. Sebenarnya ia tak ingin meninggalkan ruangan tersebut, tapi makin hari ruangan tersebut semakin sempit dan ia merasa senak. Dengan segala sabar yang tak dimengerti, ia bertahan. Menunggu tak membuatnya bosan. Ia bisa menari mengikuti suara detak jantung yang sampir di telinganya. Ia tak menyadari, tariannya tersebut menyiksa orang lain—ibunya. Seperti ketidaktahuannya di belantara mana ia akan tinggal setelah pintu keluarnya terbuka.

Waktu berjalan siput. Daun-daun masih tetap gugur lalu menguncup penuh sejuk. Ia memejamkan mata, mengingat bagaimana awalnya ia sampai keruangan itu—yang tanpa cahaya. Bagaimana ia bisa hidup di ruang sesempit itu—tumbuh, bernapas dan menari. Ingatannya serasa buntu, pecah berserakan. Ia berusaha lagi mengingatnya tapi pecahan ingatannya membaur pada ketakmengertiannya.

Pada sebuah subuh yang ia lupa tepatnya kapan. Ia, yang merasa telah mengendap bertahun-tahun pada sebuah gunung tanpa pengunjung. Asing dan dingin. Sepi menyergap-nyergap, tiba-tiba ia seperti terseret arus. Pemukimannya retak. Sebuah kekuatan menyeretnya. Ia hanyut melewati banyak aral. Terbentur dan saling senggol dengan penghuni gunung tersebut. Belukar-belukar berhasil dilewatinya. Ia terus saja terseret, kemudian ia berubah lahar—licin dan lebih lincah bergerak mengalahkan semuanya, melewati semua rintangan. Hingga ia sampai pada sebuah ruangan dan disambut dengan pelukan hangat oleh…ia tak tahu siapa yang memeluknya. Tapi sejak itu ia merasa kehidupan menginginkannya.

“Kau telah menyelamatkanku dari arus ini, siapa namamu?”

“Kita saling menyelamatkan, kita juga belum dinamai,”

“Lalu akan kemana kita nanti?”

“Entahlah, kita menunggu pintu terbuka, di salah satu pintu itu ada takdir kita

“Kita?”

“Sejak hari ini, kita tak akan terpisah, tubuhku ada pada tubuhmu, tubuhmu menyatu pada tubuhku,”

Hanya itu percakapan mereka. Setelahnya tak pernah lagi. Sebab keduanya ada dalam satu tubuh yang tak terpisah. Mereka bertahan dalam satu kesatuan. Merasakana asing yang sama. Menari bersama dalam satu tubuh.

Enam Agustus, keduanya bergerak dari dan kepada cinta. Menuju satu titik temu—kehidupan. Dua warna dalam satu tubuh berjalan tak pisah menuju pintu keluar. Menghadapi segala belukar. Pada akhirnya keduanya tahu warna hidup sesungguhnya setelah lolos dari pintu tersebut dengan suara pertama yang keluar dari mulut mungilnya eeaa lalu berubah lebih nyaring dan panjang. Tanda kehidupan dimulai.

Perlahan perempuan itu berjalan mendekatiku. Aku tak sanggup menatap matanya, karena itu akan membuatku jatuh cinta. Aku mundur beberapa langkah hingga akhirnya aku terjaga dan mimpi itu terpotong.

*****

Vhy menceritakan bagaimana ia datang pada kehidupannya. Dua puluh lima tahun yang lalu. Sebuah pintu terbuka dan ia keluar dengan suara pertama eeaaa yang ia persembahkan kepada ayah dan ibunya. Suara itu kemudian lebih panjang dan nyaring. Ia tahu sejak saat itu ia telah lepas dari sebuah ruangan tanpa cahaya, yang hanya ada suara degup jantung yang membuatnya akan menari.

Setelah dewasa, Vhy melihat ayahnya berjalan pulang kepada seharusnya. Dan ibunya meraung tangis. Sejak kepergian ayahnya, mata ibunya ditumbuhi kamboja. Ia sering mendapati ibunya mendekapi buku bertuliskan “aku lelakimu dan kau perempuanku, tak terpisahkan bahkan oleh kematian. “Aku perempuanmu dan kau lelakiku, tak tergantikan oleh apa dan siapa.”

Ketika Vhy menceritakan kisahnya. Aku temukan mimpiku di matanya, yang membuatku bisa terjaga hingga tiga kali semalam karenanya. Aku menatap matanya dan aku melihat ia serupa yang ada dalam mimpiku. Pada sebuah ruang tanpa cahaya dan tubuhnya seolah tanpa tulang. Aku menatap mata Vhy yang gerimis ketika menceritakan kisahnya.

“Jadi Kalena?”

“Apa sih Kalena?”

“Kamu lahir enam Agustus,”

“Hahhahahhah, iya Alena”

“Alena?”

“Aku lahir enam Agustus, hahhahaha.” Tawa Vhy terasa renyah di pendengaranku.

“Apa kado ulang tahunku?” tanya Vhy mengagetkanku

“Akan kubuatkan cerita,”

“Itu cukup romantis

“Penulis yang jatu cinta kepadamu akan membuatmu abadi, jadi biarkan saja aku jatuh cinta,” kataku denga suara bergetar. Vhy tertunduk, tak ada jawaban.

*****

Tanggal kelahiran Vhy kembali akan bertandang. Di ultahnya yang kedua puluh lima nanti. Janjiku harus kutunaikan. Menulis cerita untuknya. Tak mudah menulis tentangnya. Ia adalah kisah yang lebih memilih mengendap di kepala. Membuat kertas-kertas kosong tanpa huruf. Pena-pena kaku bergerak. Semakin tertuliskan semakin buram. Cerita yang tak pernah menemui akhir dan menemukan awal. Bergerak liar penuh misteri, melesap entah. Tapi sungguh aku ingin mengisahkannya. Sebab dari sudut paling sempit pun aku bisa merasakan aroma napasnya. Hangat penuh asing. Dari jarak paling jauh, bau keringatnya tercium. Menetes dari pori rindu. Aku berkali-kali ditabrak oleh bayangannya. Hingga separuh tubuhku kaku. Dan hanya bisa bergerak atas titah Vhy. Seperti sejarah yang mencatat dirinya sendiri, kisahku pun mencatat dirinya sendiri di kepalaku. Tentang Vhy, perempuan yang ada dalam mimpiku.

Ketika aku memulai ceritaku. Aku dihimpit bingung yang kokoh. Buntu dimana-mana. Pekat mengejar. Pening kepala berdenyut kencang. Aku tak pernah mengalami hal semengerikan ini. Namun pada akhirnya aku harus tahu, setiap kisah memiliki kerumitannya sendiri. Seperti ada roh menjaganya agar tidak tercecer kemana-mana dan jatuh pada yang bukan seharusnya.

Saat ini, aku sedang duduk sendiri tanpa kopi. Ampas kopi meninggalkan karat-karat hitam di gigiku yang berlubang. Aku berada pada sunyi yang menjulang menara. Aku sedang menulis cerita untuk kado ulang tahun Vhy. Jika tak ada halangan cerita itu akan selesai tepat di tanggal kelahirannya. Ia lahir dengan suara eeaaa kemudian lebih nyaring dan panjang, menandai kehidupannya di enam Agustus. Aku ingin ada yang tahu tentangnya hingga 9999 tahun yang akan datang atau hingga tak ada lagi yang menghitung tahun. Dan Vhy akan selalu ada pada tiap ingatan dan rapalan doa. Begitu saja. Cukup sederhana dan romantis, bukan??

Rumah kekasih, 25 Juli 2015

cat: Harian Gocakrawala, 1 Agustus 2015

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun