Mohon tunggu...
Gaya Hidup

Kesehatan Mental Remaja di Media Sosial

28 November 2017   12:41 Diperbarui: 30 November 2017   20:11 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang ditakutkan pun muncul, seperti bagaimana jika mereka para penonton vlog Karin yang notabene banyak yang masih dibawah umur melakukan persis sama dengan apa yang dilakukan oleh Karin? Pacaran vulgar, mabuk-mabukan dengan bebas, menyontek untuk Ujian Nasional. Saya rasa usaha RA Kartini menjadi percuma ketika kita melihat kehidupan si Karin ini. Selain itu, kabarnya dia juga tinggal  terpisah dengan orang tuanya. Karin hidup di rumah yang ia miliki dari jerih payahnya sendiri. Ia mendapatkan uang yang kabarnya 32 juta per bulan. Ternyata akun youtube dan askfm-nya dimonetized. Setiap orang yang subscribe atau nonton videonya akan dihitung sama youtube dan doi dibayar. Dia juga buka open endorse untuk segala jenis barang.

Memang betul jika kita hidup di era oversharing, gara-gara social media. Sebagai manusia modern, ada satu rasa gatal dari diri kita untuk membagikan sedikit dari siapa kita pada orang lain sebagai wujud pembuktian diri identitas -- lewat gambar, tulisan, suara, yang dengan mudahnya tersebar ke siapapun.

Para youtuber atau selebgram yang berani posting segala macam adalah orang yang (harusnya) berprinsip, tau batasnya sharing dan show off, tahu kapan harus stop, dan tahu bagaimana caranya menutup mata dan mulut. Ketika mereka jadi sosok yang dilihat semua orang, setiap orang boleh berkomentar apapun tentang mereka, karena mereka telah dengan gamblangnya membagikan kehidupan pribadi di ranah sosial.

Cukup membicarakan tentang Karin, maka disini saya akan mencoba mengaitkan perilaku Karin dengan Pancasila, saya rasa cukup penting untuk mengaitkan kehidupannya dengan Pancasila. Karena :

  1. Karin merupakan warga sipil Indonesia
  2. Karin masih menggunakan Bahasa Indonesia dalam kehidupannya
  3. Saya yakin Karin juga tahu tentang Pancasila dan bagaimana seharusnya  menerapkan Pancasila dalam kehidupannya.

Dimulai dari sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam ajaran agama, saya rasa agama apapun yang ada di Indonesia ini, Tuhan selalu mengajarkan bahwa hidup di dunia ini seharusnya tidak boleh sombong, memamerkan harta duniawi. Di dalam agama Katolik sendiri kita di ajarkan untuk selalu mengejar kekayaan surgawi bukanlah duniawi. Namun di sini Karin justru memamerkan semua yang ia miliki, selain itu ia juga sering berkata kasar dan melakukan hal yang tidak senonoh di dalam vlognya.

Kemudian yang saya angkat disini adalah sila ketiga. Persatuan Indonesia. Dari sini kita bisa melihat, Karin menyumbang peran dalam degradasi bangsa. Ia membantu merusak moral anak bangsa lewat apa yang ia posting di ranah sosial. Selain itu, Karin menimbulkan kesenjangan sosial dalam kehidupannya. Kita bisa melihat pertemanan Karin berada di level atas. Dia berteman dengan orang-orang yang kaya saja. Masalah tidak muncul pada Karin, namun muncul pada pengikut Karin yang mengikuti gaya hidupnya.

Akan muncul gap disini. Kesenjangan antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu. Selain itu, "perpecahan" sederhana mulai terlihat dari terbentuknya kubu pendukung Karin (#TeamKarin) dan pendukung Gaga (#TeamGaga) yang saling berperang adu mulut di media sosial. Tak main-main, para pendukung setia Karin bahkan membuat akun khusus dan benar-benar membela Karin yang notabene bukan siapa-siapa ini (bahkan menyumbang peran untuk negarapun tidak).

Lalu yang terakhir adalah sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tentu saja keadilan sosial tidak terlihat disini. Dimana Karin dan teman-temannya terlihat dengan mudahnya menggelontorkan sekian banyak uang untuk bersenang senang, sedangkan masih banyak orang selain mereka yang sangat membutuhkan uang hanya untuk makan sehari-hari. Kesenjangan terlihat juga disini.

Dan jika dikaitkan dengan materi Pancasila yang sudah kita pelajari, maka Karin merupakan produk globalisasi dan perkembangan IPTEK yang gagal. Disini Karin mencoba untuk mengikuti globalisasi dan mencoba mengikuti arus barat, namun dia lupa memperhatikan norma-norma yang ada di masyarakat Indonesia. Selain itu, ia juga salah dalam menggunakan perkembangan IPTEK. Dia menggunakan media sosial sebagai tempat ia mencurahkan segalanya dan juga berbisnis, sebenarnya apa yang ia lakukan tidaklah salah. Namun apa yang ia katakan dan lontarkan tersebutlah yang salah. Kata-kata yang tidak dipilah dan difilter menimbulkan banyak pro dan kontra.

Setiap permasalahan pasti ada solusinya, begitu pula dengan yang satu ini. Dalam permasalahan kali ini, bisa saja Karin mengaktifkan fitur khusus penonton dewasa di dalam video yang diunggahnya di Youtube, dengan begitu maka anak-anak di bawah umur tidak akan menonton dengan mudahnya, dan selain itu, ia tidak akan di cerca lagi separah sekarang dengan cara tersebut. selain itu, perlu ditekankan dan digaris bawahi bahwa Karin bukanlah seorang sosok yang perlu di anut. Ambil saja sisi positifnya bahwa dia sudah bisa menghasilkan uang yang banyak di usianya yang masih belia. Tapi untuk urusan gaya hidup dan pacaran, saya rasa masih banyak orang lain yang lebih tepat untuk dijadikan role model atau panutan.

 

Sumber: www.koko-nata.net/
Sumber: www.koko-nata.net/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun