Mohon tunggu...
Irine Oktaviany
Irine Oktaviany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi jurusan Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Media Televisi dalam Membentuk Pandangan Gender: Antara Realitas dan Stereotype

9 Januari 2024   00:48 Diperbarui: 9 Januari 2024   00:54 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media seperti televisi, internet, majalah atau koran, dan lainnya memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pola pikir, gaya hidup, dan juga perspektif kita sebagai konsumen media-media tersebut. Terutama televisi, yang menjadi pilihan hiburan utama bagi masyarakat dalam berbagai kalangan. Dapat dipastikan bahwa setiap hari masyarakat aktif menikmati berbagai program yang ada di televisi. Pada era modern ini, televisi bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga menjadi salah satu media utama yang dapat membentuk opini dan pandangan masyarakat terhadap berbagai isu. Meskipun terdapat beberapa kemajuan yang cukup signifikan, isu bias gender masih menjadi masalah serius yang dihadapi industri televisi.

Televisi seringkali memberikan pandangan kepada masyarakat mengenai realitas, meskipun pada kenyataannya tayangan-tayangan yang ditampilkan di televisi tidak selalu mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sebaliknya, seringkali terdapat unsur-unsur buatan atau rekayasa yang dibuat oleh produser televisi. Televisi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pandangan masyarakat atau penonton terkait dengan isu-isu seperti seks, gender, dan identitas gender.

Selama ini, televisi memberikan gambaran gender yang cenderung tradisional dan kurang rasional. Televisi sering menggambarkan stereotype gender dimana laki-laki dianggap agresif, mandiri, dan cenderung keras. Disisi lain, perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang seksi, bergantung pada orang lain, dan berperan dalam lingkup yang domestik. Sejalan dengan hal tersebut, beberapa tema dalam media melibatkan : a) Perempuan seringkali ditempatkan dalam posisi minoritas dan kurang mendapatkan representasi yang memadai; b) Perempuan dan laki-laki seringkali digambarkan dengan cara-cara yang stereotype untuk menjaga dan memperkuat pandangan-pandangan gender tertentu; c) Daripada menampilkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan cara yang mencerminkan kesetaraan, televisi cenderung menekankan peran-peran gender tradisional dan ketidakadilan kekuasaan antara keduanya.

Sebagai sarana komunikasi massa, televisi memiliki peran strategis dalam menyampaikan nilai-nilai dan juga ide. Televisi juga memiliki dampak yang signifikan dalam membentuk karakter individu dan dapat mendorong keyakinan pada suatu kebenaran tertentu. Kebenaran yang ditampilkan di televisi dapat menjadi acuan bagi penonton. Isu bias gender dalam ruang publik dapat menjadi lebih kuat, karena televisi tururt menyosialisasikan ide dan nilai-nilai yang mengandung bias gender. Jika produser televisi tidak memiliki sensitivitas terhadap isu-isu bias gender, maka televisi dapat berperan dalam memperkuat praktik ketidakadilan gender dalam masyarakat.

Televisi dapat memperlihatkan diskriminasi gender melalui perspektif masyarakat, mengingat masyarakat umumnya menjadi konsumen suatu produk televisi. Televisi terlihat seolah-olah menyajikan informasi yang sah mengenai realitas hidup dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa televisi telah terbangun dalam kerangka masyarakat dan budaya yang terbentuk melalui mekanisme sistem siaran.

Mayoritas laki-laki yang muncul di televisi digambarkan sebagai individu yang mandiri, agresif, dan kuat. Program-program televisi menampilkan pria sebagai sosok yang serius, percaya diri, berpengetahuan, dan memiliki kekuasaan. Contohnya dalam film seperti "Gladiator", laki-laki digambarkan sebagai sosok maskulin yang keras, tangguh, mandiri, agresif secara seksual, tidak takut, keras, dan sepenuhnya mengendalikan emosi, serta tentu saja tidak terlihat feminim.

Dalam serial televisi "Putri yang Ditukar" kehidupan perempuan digambarkan pada peranan domestic di rumah tangga atau sebagai individu yang dianggap kurang cerdas daripada laki-laki. Mereka terlihat hanya sebagai pelayan bagi laki-laki dengan berbegai stereotype yang menyiratkan bahwa perempuan seharusnya tidak memenuhi kualifikasi untuk terlibat dalam ranah publik. Sinetron-sinetron serupa jarang menunjukkan perempuan sebagai tokoh pengambil Keputusan dalam konteks kebijakan publik. Perempuan masih sering dianggap sebagai peran pembantu dalam kehidupan publik. Sebagai contoh, dalam suatu sinetron seorang perempuan mungkin sering digambarkan sebagai sekretaris, sementara jarang sekali digambarkan sebagai direktur atau pemimpin dalam suatu lembaga publik.

Bias gender lain yang terlihat di televisi adalah melalui acara kecantikan seperti Miss Universe, kontes ratu kecantikan, dan sejenisnya. Dalam konteks ini, perempuan dipresentasikan sebagai peserta dalam kompetisi kecantikan. Pertandingan ini cenderung hanya menilai aspek keindahan fisik perempuan, yang lebih menonjolkan daya tarik yang dapat membangkitkan hasrat seksual laki-laki, daripada menggali potensi kecerdasan yang dimiliki oleh para peserta perempuan. Acara semacam itu lebih berfokus pada memenuhi keinginan atau nafsu maskulinitas.

Ketika melihat pada iklan televisi, terlihat bahwa stereotype gender cenderung semakin menguat. Dalam iklan, laki-laki sering digambarkan sebagai individu yang lebih independen, seringkali digambarkan dalam konteks pekerjaan dan tanggung jawab di luar rumah. Mereka seringkali dihubungkan dengan iklan mobil atau produk-produk yang terkait dengan dunia bisnis. Di sisi lain, peran perempuan dalam iklan sering terbatas pada citra ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak di rumah. Perempuan sering terlibat dalam iklan produk rumah tangga. Laki-laki seringkali ditempatkan di posisi berkuasa, dan semakin tua, mereka sering diposisikan sebagai individu yang memiliki otoritas tinggi. Sementara itu, perempuan cenderung digambarkan sebagai pendamping laki-laki dalam pekerjaan, dan seiring bertambahnya usia, peran perempuan dalam dunia pekerjaan sering kali terkesan semakin terpinggirkan.

Permasalahan bias gender yang telah diuraikan sebelumnya mencerminkan ketidaksetaraan dalam representasi gender di media, terutama televisi. Beberapa teori yang dapat digabungkan untuk menjelaskan permasalahan ini melibatkan representasi media gender yang bias di televisi, yang telah menjadi fokus perhatian ilmuwan selama beberapa waktu. Teori representasi media menyoroti cara televisi menciptakan gambaran tertentu tentang gender, yang pada waktunya menciptakan ketidakseimbangan dalam peran gender. Sebagai contoh, karakter perempuan serinngkali terbatas pada peran-peran domestic dan tanggung jawab keluarga, sementara laki-laki seringkali dihubungkan dengan peran publik dan karir.

Teori stereotype gender secara khusus mengkaji penggunaan stereotype dalam menggambarkan laki-laki dan perempuan di televisi. Stereotype seperti perempuan yang emosional dan laki-laki yang rasional seringkali digunakan secara berulang, yang pada akhirnya memperkuat norma sosial yang tidak seimbang. Teori kultivasi menambahkan dan menekankan bahwa paparan televisi jangka Panjang yang memuat representasi gender yang tidak seimbang ikut membentuk pemahaman masyarakat tentang gender. Penonton cenderung menangkap pandangan dunia yang disajikan oleh televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun