Mohon tunggu...
Irine Dwi Nurtanti
Irine Dwi Nurtanti Mohon Tunggu... Freelancer - Ine

Don't lose hope

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bagaimana "Daging Palsu" Bisa Menjadi Sesuatu yang Wah?

30 September 2019   21:18 Diperbarui: 30 September 2019   21:24 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makanan seperti ekstrak daging, camilan yang memiliki kualitas tinggi, aneka makanan yang berlemak, makanan sehat, makanan berbahan dasar nabati, dan kemasan yang ramah lingkungan merupakan beberapa contoh fenomena kuliner yang sedang digemari oleh masyarakat. Mengapa demikian?

Karena perkembangan teknologi memberikan dampak pada cara pengolahan makanan, menurut Miarso (2007) bahwa teknologi merupakan suatu bentuk meningkatkan nilai tambah dan produk yang dihasilkan tersebut tidak terpisah dari produk yang telah ada.  Peran dalam perkembangan teknologi inilah yang memberikan inovasi-inovasi pada berbagai macam olahan makanan khususnya bahan nabati.

Sekarang ini, semakin banyak orang yang memilih untuk mengurangi konsumsi daging hewani dan beralih ke daging nabati yang terbuat dari tempe, tahu, dan TSP. Daging palsu ini juga dikenal dengan sebutan daging nabati. Mengapa disebut daging palsu? Karena daging palsu ini memiliki tekstur dan rasa yang mirip dengan daging hewani.

Daging palsu jauh lebih aman karena terbebas dari kuman dan penyakit ataupun parasit daripada daging hewani. Yang masih menjadi pertanyaan ialah apakah daging palsu sudah mencukupi protein yang dibutuhkan oleh tubuh dan sebanding dengan kandungan protein yang berasal dari daging hewani?

Daging palsu memiliki kadar protein tertentu yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi alternatif protein daging hewani. Protein daging palsu memang tidak sebanyak daging hewani, tetapi bisa menjadi solusi bagi banyak orang yang memilih untuk menjadi vegetarian atau mengurangi konsumsi daging sebagai tindakan untuk mengurangi jejak karbon, penyakit jantung, obesitas, diabetes, dan penyakit lain yang tidak memperbolehkan memakan daging hewani terlalu banyak atau mengharuskan diet daging hewani.

Pengganti daging hewani bisa terbuat dari tempe, tahu, TSP (Texturized Soy Protein), dan umumnya merupakan olahan dari kedelai. Daging nabati yang berbahan baku tempe terbuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dengan jamur Rhizopus sp. Daging berbahan baku tahu dibuat dengan cara menggumpalkan protein dan kemudian ditambahkan biang kedalamnya.

Daging TSP adalah produk tepung bertekstur yang terbuat dari kedelai , TSP biasanya digunakan sebagai campuran atau filler untuk produk olahan daging seperti sosis, bakso, dan nugget.

Tempe, tahu, dan TSP bisa dikreasikan menjadi oseng-oseng tempe, steak tempe, nugget tahu, bakso tahu, nugget berbahan kedelai, filler produk daging olahan sebagai pengganti daging, serta berbagai menu olahan lainnya dari gluten dan jamur.

Olahan makanan dengan daging nabati sebagai pengganti daging hewani sudah mulai digemari dan menjadi cita rasa unik yang berbeda dari sebelumnya. Selain itu, olahan makanan daging mengandung zat gizi yang aman bagi tubuh  seperti lemak tak jenuh dan asam esensial yang mencegah penyakit jantung koroner serta rendah kolesterol. Jenis pengganti daging ini pun lebih bervariasi, bersifat halal, bisa dikonsumsi oleh seluruh kalangan, dan tidak menyebabkan alergi.

Daging palsu ini bisa menjadi peluang bisnis bagi masyarakat karena bahan-bahannya mudah didapatkan dan harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan daging hewani. Rasa yang lezat dan variasi olahan yang bermacam bisa dijadikan inovasi dalam dunia bisnis makanan.

Selain itu, vegetarian lebih terbantu dengan maraknya penjualan daging nabati dan olahan daging nabati ini bisa mengurangi pengeksploitasian hewan untuk dikonsumsi.

Masakan dan olahan berbahan dasar nabati memberikan sesuatu yang berbeda dari segi rasa dan tampilan yang dapat membuat masyarakat tidak jenuh terhadap olahan dan segala jenis makanan nabati sehingga nutrisi yang diperlukan oleh tubuh tetap terjaga dan terpenuhi. Setiap individu memiliki jumlah takaran nutrisi yang berbeda maka diharapkan tidak mengacu pada standar nutrisi dari orang lain.

Menilai dan mengukur asupan tubuh sendiri itu penting dan merupakan sesuatu yang harus dibiasakan sehingga bisa dijadikan acuan untuk pola makan yang sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun