Mohon tunggu...
Irham WP
Irham WP Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

(“Keep your dreams alive. Understand to achieve anything requires faith and belief in yourself, vision, hard work, determination, and dedication. Remember all things are possible for those who believe,” : Gail Devers) This is a moderated blog. Any comment contributing to a serious discussion is welcome. Some people may not agree with the content of some posts, but please refrain from abusive, profane, or offensive language in your comments - they will automatically be deleted, as will all comments that have no bearing whatsoever on the subject and/or only serve to slight or even insult the author.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pecahnya "Kapal" PPP dan Upaya Pelengseran SDA

20 April 2014   10:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27 2349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Prabowo Subianto saat disambut Suryadharma Ali di kantor DPP PPP, Jakarta, Jumat (18/4/2014). (Kompas.com/ Ican Ihsannuddin)"][/caption] Ini bukan drama tenggelamnya sebuah kapal, sebut saja menyerupai Titanic yang menabrak karang es, tetapi sebuah "kapal" organisasi politik bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di tengah-tengah proses jalannya demokratisasi Pencapresan 2014, PPP justru dilanda kemelut internal yang memungkinkan perpecahan di tubuh partainya.  Mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana implikasi politiknya? Apakah kemelut tersebut akan menjatuhkan Surya Dharma Ali (SDA) selaku ketua umum partai dan bagaimana solusi terbaik agar PPP yang terbentuk 5 Januari 1973 itu terhindar dari kehancuran? Di internal PPP ada kalimat yang sering mereka ucapkan: "tidak ada kawan politik yang abadi, yang ada hanya kepentingan!". Kalimat itu kini bak pisau bermata dua (double jeophardy), kini menjadi kenyataan bagi mereka sendiri.

***

Dinamika sebuah organisasi politik (baca :  partai politik) selalu terjadi di mana-mana, tidak ada partai politik yang tidak mengalami dinamika internal. Namun apabila dinamika itu menuju perpecahan menggunakan kekuatan internal (coercive) dan menjadi konflik radikal, tentu akan mengakibatkan kehancuran organisasi, dan implikasinya akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap soliditas partai dimaksud.

Sebagai salah satu peserta pemilu 2014, PPP baru saja  menyelesaikan satu aktivitas hajatan kerja, yaitu pemilu legislatif, dengan hasil perolehan 6,70% atau hanya meningkat sedikit saja dari perolehan suara pileg 2009 yang  5,32%.

Perolehan itu apabila dilihat dari sejarah kepesertaan Pemilu sejak 1977 merupakan hasil yang paling jelek kedua setelah pemilu legislatif 2009 lalu. Jauh dari hasil terbaiknya yang diperoleh PPP tahun 1977 (29,29%) dan pemilu 1982 (27,78%). Di jaman Orba PPP pernah meraih suara yang signifikan 22,43% pada pemilu 1997, dan perolehan hasil terbaik di jaman reformasi dicapainya pada pemilu 1999 dengan raihan suara sebanyak 10,71%.

Bisa dinyatakan sejak tahun 1977 hingga tahun 1982, PPP adalah sebuah partai besar, kini dengan hanya beberapa angka di bawah ketentuan minimal masuk parlemen yang hanya 3%, PPP apabila dianalogikan sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir hanya lulus pas-pasan, sedikit di atas ketentuan indeks prestasi minimal yang diterapkan. Dalam konteks hasil pileg 2014 yang hanya pas-pasan itulah yang kini menempatkan PPP sebagai partai gurem, partai yang tergantung partai lain.

Kondisi itulah yang menyulut ketidak puasan elit internal partai. Maka dicarilah "kambing hitam". Ketum partai SDA yang dianggap secara sepihak menghadiri kampanye akbar Partai Gerindra dan mendukung secara terang benderang Prabowo Subianto (PS) sebagai Capres  di Gelora Bung Karno saat masa kampanye legislatif lalu dianggap elit partai menyalahi Mukernas PPP di Bandung. Dalam Mukernas PPP itu Prabowo tidak masuk dalam daftar 8 (delapan) Capres yang telah ditetapkan, namun SDA nekat hadir dengan jaket kebesaran PPP serta mendukung PS yang terpancar dalam pidato politiknya saat kampanye akbar partai Gerindra. Edan! Kemudian muncul adagium politik baru: "Ketum PPP  tapi rasa Gerindra".

[caption id="attachment_320643" align="aligncenter" width="634" caption="ilustrasi kapal pecah 2 bagian, (sumber foto :EPA)"]

1397914700307972256
1397914700307972256
[/caption]

Di sebagian kalangan elite PPP, tindakan SDA dianggap memalukan. Protes dan makian internal bagaikan api yang disiram minyak tanah, semakin besar dan membara. Entah siapa yang menggulirkan isu wacana penggulingan SDA sebagai ketum, situasi ini berhasil memancing kemarahan SDA. Selaku ketua umum hasil Muktamar (forum tertinggi partai), SDA mengganggap ancaman elit DPW dan DPP itu sebagai bentuk makar yang bertentangan dengan konstitusi partai (AD/ART PPP). Ia secara emosional, kemudian memecat beberapa elite DPP dan DPW tersebut.

Sekjen PPP  Romahurmuziy (yang konon memegang banyak rahasia SDA) pun dipecat SDA. Sang Sekjen itu"dimutasi" menjadi Wakil Ketua Umum, sebuah jabatan yang kurang strategis dibandingkan jabatan Sekjen. Situasi memanas karena Romy (nama kecil Romahurmuziy) melawan dengan menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada Sabtu 19/April/2014 dengan tujuan mengevaluasi dalam rangka pelengseran SDA dari ketum partai (baca: memecat SDA) yang dianggap telah melanggar konstitusi partai (AD/ART PPP).

***

Atas gelaran Rapimnas yang menurut kubu Romy telah sesuai AD/ART partai, SDA nampak makin murka dan semakin kalut. Ia terlihat telah kehilangan akal sehatnya. Melalui SMS yang disebarnya SDA menyatakan mengambil alih roda organisasai partai, alasannya tentu sangatlah klasik: menyelamatkan partai. SDA menyerukan bahwa Rapimnas Romy dkk. hari ini ilegal, dan ia pun meminta kepada pendukungnya untuk tidak menghadiri Rapimnas dimaksud.

Soal Etika

Sebenarnya kisruh PPP kali ini adalah persoalan etika SDA. Ketika ia akan menghadiri kampanye akbar partai Gerindra seharusnya ia merapatkannya terlebih dahulu. Karena SDA kini dianggap bersikap one man show" seakan PPP adalah saya, maka ia mengganggap sepele dukungan pengurus harian dan ketua-ketua DPW. Secara etika politik tidak pernah ada di dunia ini seorang Ketua Umum partai menghadiri kampanye akbar partai lain. Hal itu menghilangkan marwah dan harga diri partai.

Pantas saja kemudian muncul anggapan di internal partai, bahwa SDA telah 'dibeli' oleh PS atau PPP telah "dijual" oleh SDA. Padahal anggapan itu belum tentu benar. Bisa saja SDA berharap mendapat jatah menteri kembali bila PS terpilih sebagai Presiden nantinya, atau hal-hal lain atau motif lain yang hanya diketahui SDA sendiri. Yang jelas dari kondisi saat itu telah hilang "komunikasi politik" antar elit PPP, dan SDA dinggap berjalan sendiri oleh rekan-rekannya.

Seandainya setelah hadir di kampanye Gerindra, SDA mengumpulkan semua pengurus harian dan DPW nya, tentu saja akan berdampak lain. Apalagi bila dalam rapat itu SDA bersedia meminta maaf dan tetap mematuhi hasil Mukernas Bandung atau menjelaskan perlunya evaluasi hasil Mukernas Bandung dengan berusaha menyakinkan teman-temannya : bahwa dukungan terhadap PS lebih efektif dibanding 8 (delapan) tokoh hasil Mukernas  II Bandung. Yang jelas permohonan maaf harus keluar dari mulut SDA agar menentramkan hati para elit partai. Hal itu tidak terjadi dan kini implikasinya menjadi lain ; memburuk.

Jangan ke Jalur Hukum

Kini atas pecahnya " kapal PPP " menjadi 2 (dua) bagian besar, kubu Romy dan kubu SDA, beberapa pengamat politik menyarakan mencari solusi ke jalur hukum. Seperti pendapat pengamat komunikasi politik Hendri Satrio dari Universitas Paramadina yang dikutip Kompas.com (Sabtu 19/4/2014)  juga menyarankan dibawanya konflik ini ke jalur hukum sebagaimana konflik PKB dimasa Gus Dur. Alasan Hendri Satrio karena ia mengganggap kisruh internal PPP telah semakin kompleks.

Berbeda dengan saran Hendri Satrio, penulis justru mengganggap jalur hukum sangat menyesatkan dan harus dijauhi. Mengapa ? karena persoalan internal PPP hanya dapat diselesaikan apabila semua unsur elit partai mampu duduk bersama dan mencari solusi terbaik bagi keutuhan partainya atau Islah internal. Di internal elit PPP masih ada seorang ulama besar kharismatik yang sangat dihormati dan mampu merangkul semua semua pihak.

Ia adalah KH. Maemun Zoebair yang merupakan Ketua Majelis Syariah DPP PPP, seorang yang santun dan saleh serta tanpa pamrih kekuasaan masih ada di "kapal" PPP. KH Maemun Zoebair harus hadir dalam Rapimnas versi Romy dkk dan mendamaikan kedua pihak. Mentyatukan kembali kapal yang telah "retak" dan dengan bebesaran jiwa, kerendahan hati dan mungkin saja 'air mata' para elit harus saling memaafkan.

Kondisi "meredam' yang kini hanya bisa dilakukan KH Maemun Zoebair itu bukanlah sebuah mission imposible, dan tentu perlu kebesaran jiwa SDA untuk melakukan instropeksi atas langkah-langkah frontal yang telah dilakukannya. Setidaknya ada 3 (tiga) langkah yang harus dilakukan SDA untuk menghindari pecahnya "kapal PPP",  setelah KH Maemun menyatukan elit ;

Pertama, hadir dalam Rapimnas dan meminta maaf atas langkahnya yang dianggap terlalu maju, dan atas nama kebersamaan dan persatuan partai ia minta elit PPP bersatu kembali;

Kedua, SDA harus merasa dan mengakui kekeliruannya (dan sekali lagi tentu ia harus minta maaf) atas pemecatan beberapa elit Partai dan beberapa ketua DPW karena Surat Keputusan (SK) tersebut telahkeliru menggunakan nomor yang telah digunakan untuk memecat kader yang lain, sehingga batal demi hukum, dan mengembalikan para elit yang telah dipecatnya ke posisi semula;

Ketiga, mencabut dukungan partai kepada PS dan mengembalikan mandat kepada Mukernas Bandung, atau nyatakan bahwa dukungan kepada PS sebagai Capres adalah dukungan pribadi, bukan atas nama partai, serta SDA harus berani bersumpah dihadapan peserta Rapimnas bahwa ia (SDA) tidak menerima uang serupiahpun dari PS dan tidak dijanjikan jabatan apapaun apabila PS terpilih sebagai Presiden. Sumpah atas nama Allah Swt memang menjadi keharusan bagi SDA sebagai tradisi partai agama di lingkungan PPP;

Sebagai tambahakan pra kondisional, apabila ada pengurus yang masih sakit hati dan meminta SDA mundur sebagai ketum, tentu jawaban SDA harus sangat diplomatis, yaitu dikembalikan kepada AD/ART sebagai konstitusi tertinggi partai. Setidaknya 3 (tiga) upaya atau cara diataslah yang mampu menghidari terjadinya perpecahan kapal partai. namun, apabila kedua kubu masih berkeras dengan watak "setannya" maka yang merugi adalah kalangan PPP sendiri. kedepan suara PPP akan jauh lebih kecil dan kepercayaan massa PPP secara perlahan tentu akan hilang secara perlahan pula.

***

Siapa Mengambil Keuntungan atas Kisruh itu?

Apabila tiga saran islah dari skenario diatas tidak terwujud, dan kisruh PPP semakin tajam dengan keinginan kubu Romi Cs menggelar Muktamar atau ngototnya SDA mengadakan rapat pleno, maka dimungkinkan "kapal" PPP akan mengalami perpecahan yang emprihatinkan umat dan akan mencoreng harmonisasi partai tersebut dimasa kini dan masa akan datang.

Apabila perpecahan tidak dapat dicegah, maka kemungkinan besar akan terjadi beberapa kondisi sebagai berikut dibawah ini ;

Dari situasi pecahnya PPP secara politis ada 2 (dua) pihak yang mengambil keuntungan dan tentu saja kerugian atas peristiwa tersebut. Pihak yang merugi tentu saja kubu capres partai Gerindra PS. Hal ini dikarenakan dukungan arus bawah PPP  juga akan terbelah, skenario terburuk adalah dicabutnya dukungan PPP kepada Prabowo Subianto sebagai Capres oleh DPP PPP.

Disisi laintentu ada yang diuntungkan, siapakah mereka ?. Sebelum dibahas tentu kita akan mengenal pepatah "there is no free lunch" atau tidak ada makan siang yang gratis. Namun kini ada pihak yang akan memperoleh makan siang yang gratis. Siapa mereka ?

Mereka adalah PDIP atau dikerucutkan kepada capresnya Joko Widodo. Atas kisruh ini pada akhirnya DPP PPP akan mengalihkan dukungannya kepada PDIP. Ibarat mendapat limbahan beras tumpah, PPP demi gengsi politik dan marwah organisasai akan mengalihkan dukungan pencapresannya kepada PDIP.

Meskipun dalam putaran pertama pemilu Presiden dan wakilnya arah dukungan bisa saja "mampir" ke koalisi partai  Golkar atau Koalisi Demokrat, tetapi demi gengsi politik pada pemilu Presiden putaran 2 (kedua), PPP akan secara otomatis mengarah ke PDIP atau Jokowi. Namun apabila Jokowi jadi memilih Cawapres dari tokoh non-Muslim (Letjen Luhut B Panjaitan), maka secara politis PPP tetap tidak akan merapat ke PDIP tanpa reserve. Yang jelas, memang kisruh PPP ini akan mendatangkan keuntungan bagi pihak yang kebetulan berlawanan dengan Pencapresan PS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun