[caption id="attachment_333561" align="aligncenter" width="500" caption="source : anthemshrugs.co.uk"][/caption]
Sepanjang sejarah pemilihan Presiden , sejak Republik ini berdiri, mulai di jaman Presiden Soekarno hingga lenggsernya BJ Habibie tidak pernah menyentuh suara rakyat secara langsung. Namun, ketika perjalanan bangsa ini sudah masuk ranah pintu demokrasi melalui sentuhan "reformasi" ternyata begitu dahsyat sentuhan demokrasi kita. Saat-saat menegangkan untuk kali pertama adalah pengumuman pemenang pilpres 22 Juli 2014 nanti yang akan ditonton di layar kaca hasil Real Count (RC) oleh jutaan rakyat Indonesia .
***
Setelahnya, saat SBY mampu mengalahkan "kanjeng mami" Megawati dua kali berturut-turut melalui pilihan langsung head-to-head lewat 2 (dua) putaran yang kurang mengejutkan karena kemenangan SBY yang telah banyak diperhitungkan sebelumnya. Masa itu merupakan era pencarian identitas demokrasi di awal reformasi ketatanegaraan, dimana issue kemampuan (ability) dan kepandaian tokoh capres berpengaruh besar kepada voters yang saat itu mayoritasnya tidak lulus sekolah dasar.
Hebatnya demokrasi, era itu mampu membalik keadaan perpolitikan, membuka mata rakyat bahwa yang "bungkusnya" baik belum tentu "jerohannya baik". Issue militer pasti tegas, telah terpatahkan !, karena sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa ada juga mantan Jenderal yang jadi Presiden tetapi lemot, tidak tegas, peragu, dan tidak fokus alias Presiden Auto-pilot.
Tesis bahwa badan besar, berwibawa telah terpatahkan dengan "kurus" tapi lincah blusukan menjenguk rakyat. Masyarakat Indonesia memang cerdas menampilkan anti thesis, meskipun yang "kurus" lincah dan merakyat baru kelihatan "bungkus luar" nya belum tentu "jerohannya" lebih baik dari Pemimpin yang sekarang berkuasa.
Secara alami si "kurus" yang kini dicitrakan "sederhana" jadi tokoh terpopuler, namun ia juga manusia dan bukan malaikat. Kurus bukan karena tidak "doyan duit" tapi metabolismenya memang sedemikian rupa. Manusia tentunya masih 'doyan" duit, meski ada yang sifatnya "always" dan juga ada yang "sometimes". Kurus bukannya tak korup, karenanya ia akan menggunakan segala macam cara untuk merebut kekuasaan (machiavelism). Kedua jenis tersebut masih susah dan jauh emungkinkan untuk ditangkap KPK, karena tinggalnya di Istana dan jabatannya menterang, bernama : Presiden.
Kini, meski jalan reformasi masih dalam tahap transisi, tetapi sudah dekat ke masyarakat Madani. Bangsa ini menuju supremasi sipil (civil supremacy). Era masyarakat Madani bermuara kepada kuatnya supremasi sipil, tidak lagi era-nya militer aktif menjadi Presiden, meski mantan tentara faktanya tetap akan selalu dominan di jajaran elite politik pemerintahan, karena memang dibutuhkan negara .
Dan tanggal 9 Juli 2014 lalu, Indonesia untuk kali ke-3 (tiga) bangsa Indonesia telah memilih Presidennya secara langsung. Hebatnya lagi hanya diikuti oleh dua pasang calon yang ber tagline " Indonesia Bangkit" dan "Indonesia Hebat". Karena hanya 2 (dua) pasang calon, maka head-to-head dipastikan hanya 1 (satu) putaran saja dengan QC yang di declare awal sebelum keputusan resmi KPU. Pilpres kali ini lebih elegan, berkualitas, menghemat anggaran negara, berpotensi banyak kecurangan, namun di sisi demokrasi menjadi yang "terpanas" !, mengapa ? karena secara faktor pendukung atau kuantitatif kekuatannya relatif berimbang. Pertarungan akan lebih ketat dibandingkan 2 (dua) pilpres periode pilpres sebelumnya, karena kuncinya terletak di perhitungan RC oleh KPU.
Demokrasi Bukan Civil Supremacy
Di dalam catatan penulis, demokrasi AS tidak dapat langsung dikatakan era-nya masyarakat sipil. Mari kita hitung saja, dari 44 (empat puluh empat) Presiden AS yang pernah terpilih, ternyata hanya 10 (sepuluh) orang yang berasal dari masyarakat sipil. Sebut saja John Adams, John Quincy Adams, Martin van Buren, Grover Cleveland, William Howard Taft, Woodrow Wilson, Weren G. Harding, Calvin Coolige, Herbert Hoover, Franklin D. Roosevelt, Bill Clinton, dan terakhir Barrack Obama.
Sedangkan lainnya sejumlah 34 (tiga puluh empat) orang adalah eks militer atau minimal pernah menjadi laskar di tingkat negara bagian. Contohnya : si petani kacang Jimmy Carter, pangkat terakhirnya Letnan Angkatan Laut dan pernah bertugas di akademi AL dan saat perng Korea (1946-1953). Contoh lainnya adalah Presiden populer Abraham Lincoln, ia pensiunan tentara berpangkat Kapten (Illinois State Militia) dan pernah terlibat peperangan.
Di Indonesia, sepanjang sejarah berdirinya Republik, presiden sipil lebih mendominasi dibandingkan presiden eks militer, namun lepasnya beberapa wilayah seperti Timor Leste, Sipadan-Ligitan juga terjadi tatkala pemerintahan RI dipegang oleh presiden sipil. Adagium yang menyatakan presiden dari eks militer lebih stabil dari segala hal terbukti, namun juga tidak menjamin terjadinya keadilan sosial, penegakan hukum dan keadilan HAM.
Sekali lagi tesis yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan supremasi sipil kini diperdebatkan, karena nyatanya di banyak negara demokrasi bukan lagi merupakan supremasi sipil.
Ujian Awal
Kini, setelah terjadinya pro-kontra hasil QC, bangsa Indonesia menghadapi ujian awal dari sistem Demokrasi (liberal), mampukah kita melewatinya bersama ?. Analisa politis apabila salah satu kubu memenangi RC setelah keputusan KPU tanggal 22 Juli 2014 nanti, tentunya kubu yang lain akan menggugat keputusan KPU tersebut di Mahkamah Konstitusi.
Tentunya Mahkamah Konstitusi akan dengan mudah mematahkan gugatan pihak yang kalah, karena data pemilih C1 yang dirilis secara terbuka oleh KPU memudahkan semua pihak mengawasi, mengontrol dan mengaudit perolehan riil yang masuk dalam desk tabulasi KPU Pusat.
Yang dikuatirkan adalah sedidaknya dimungkinkan ada (2) dua kejadian yang akan terjadi dan secara sosial ekonomi akan merugikan bangsa secara keseluruhan apabila terjadi pasca pelantikan Presiden terpilih 2014-2019 ;
Pertama, apabila Prabowo-Hata yang terpilih, akan ada gugatan ke MK disertai terjadi pengerahan massa besar-besaran seperti peristiwa 1998, banyak kegiatan anarki, kerusuhan sosial (sosial unrest) dari pihak yang tidak dapat menerima kenyataan hasil pilpres 2014, dan tentu saja akan menggangu stabilitas ekonomi nasional, dollar akan menguat drastis, serta merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan saat ini (pro statuta quo ?),
Kedua, apabila Joko Widodo-Jusuf Kalla yang terpilih, maka ganguan nyata terjadi di Parlemen. pihak yang kalah akan memboikot berbagai kebijakn strategis pemerintah. Langkah strategis adalahmerevisi kebijakn Jokowi yang membentuk koalisi kecil menjadi koalisi kuat di Parlemen. Pemerintahn Jokowi akan rentan dari berbagai issue, khususnya issue pertahanan dan kedaulatan wilayah. Papua akan direkayasa sedemikian rupa, demikian pula Aceh yang sudah tenang akan kembali bergolak meminta lepas menjadi negara merdeka penuh seperti halnya Timor Leste.
Kedua hal diatas merupakan ujian awal demokratisasi bangsa Indonesia dan juga supremasi sipil. Ketidak adanya kebesaran jiwa anak-anak bangsa akan merugikan kita semua. Maka hendaklah menyikapinya dengan besar jiwa dan penuh keihlasan demi lulus ujian awal yang tidak mudah itu. Prabowo atau jokowi sama saja.
Jikalau kedua belah pihak menyadari, betapa sedihnya para pembentuk republik ini (founding fathers) saat ini melihat anak bangsa terbelah..."seyogyanya jabatan presiden bukanlah apa-apa dari sulitnya mendapat kemerdekaan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H