Mohon tunggu...
Irhamna  Mjamil
Irhamna Mjamil Mohon Tunggu... Apoteker - A learner

Pharmacist | Skincare Enthusiast | Writer Saya bisa dihubungi melalui email : irhamnamjamil@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Menjadi Dewasa Terasa Menyakitkan?

22 Juli 2021   14:08 Diperbarui: 23 Juli 2021   00:09 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Nataliya Vaitkevich dari Pexels

Kata Gita Savitri dalam bukunya Rentang Kisah saat memasuki umur 20 tahun semuanya berubah. Dari awalnya baik-baik saja menjadi kacau. Dewasa memang terlihat menyakitkan bagi kebanyakan orang.

Dewasa dan sistem pendidikan di negeri ini. 

Dulu ketika sedang mengerjakan tugas akhir. Saya kira yang paling menyebalkan adalah ada di masa tugas akhir. Tidak bisa tidur, menangis hampir setiap malam karena judul saya terus ditolak. 

Sampai pada akhirnya Tuhan mengizinkan saya untuk lulus tepat waktu. Euforia akan kelulusan sidang dan wisuda pun terjadi. 

Kenyataannya saya salah terkait persepsi dunia nyata. Dunia nyata jauh lebih kecam daripada masa-masa saya berkuliah. Terkadang ada penyesalan mengapa dulu terlalu ambisius mengejar nilai. 

Penyesalan mengapa saya tidak belajar bahasa Inggris lebih awal. Ada juga pikiran saya yang muncul mengapa semasa kuliah tidak membangun relasi dengan baik atau belajar banyak hal. Tak hanya saya, ternyata banyak juga teman yang berkata begitu. Sampai pada akhirnya saya juga tahu, sistem pendidikan kita turut menyumbang mengapa bagi kebanyakan orang menjadi dewasa menyakitkan. 

Foto oleh Daria Shevtsova dari Pexels
Foto oleh Daria Shevtsova dari Pexels

Dari SD kita selalu diajarkan tentang nilai. Saya ingat sekali perkataan guru saya "kalian harus belajar yang rajin biar dapat nilai yang bagus". Perkataan tersebut yang selalu saya ingat. Di bangku kuliah, kita juga diajarkan untuk memiliki IPK yang tinggi. 

Katanya IPK tinggi menjamin seseorang mudah memiliki pekerjaan. Kenyataannya tidaklah begitu. Dikarenakan mindset yang tertanam harus memiliki nilai yang bagus maka kita berusaha agar nilai yang diperoleh semuanya bagus. 

Di bangku SMA, jika kita memilih jurusan IPA. Mata pelajaran wajib seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi harus kita kuasai. Tentu saja karena targetnya nilai maka kita akan mati-matian belajar mata pelajaran tersebut. 

Tentu saja pada akhirnya kita menguasai banyak mata pelajaran namun, tidak pernah tahu mata pelajaran mana yang paling kita sukai. Dampaknya ketika memilih jurusan di perkuliahan kebanyakan orang akan galau. 

Hal tersebut karena sistem pendidikan kita tidak mengajarkan apa yang kita suka. Kita diajarkan untuk pintar dalam berbagai bidang pelajaran. Padahal guru saja hanya bisa mengajar satu mata pelajaran. 

Hal ini juga berlanjut hingga ke tingkat universitas. Akibatnya ketika dewasa kita memiliki masalah terkait tujuan hidup dan banyak yang bingung sebenarnya apa sih yang kita suka ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut ternyata tak hanya ada di saya namun, juga di banyak orang. Kenyataannya banyak juga yang tidak tahu apa yang disukai. 

Sebenarnya menjadi dewasa tidak juga menyakitkan. Meskipun di usia 20-an awal kita akan mengalami krisis akan tujuan hidup dan jati diri, ada banyak cara yang dapat membantu kita untuk belajar menerima hidup sebagai orang dewasa. 

Foto oleh Nataliya Vaitkevich dari Pexels
Foto oleh Nataliya Vaitkevich dari Pexels

Empat cara agar hidup dewasa tak terasa menyakitkan.

1. Terima dan nikmati proses. 

Cara pertama untuk tetap hidup biasa saja adalah menerima bahwa menjadi dewasa adalah keharusan. Mau tidak mau, senang atau tidak senang. Setiap kita akan bertumbuh menjadi remaja, dewasa dan menua. 

Kita juga bisa belajar menikmati proses yang ada. Menikmati proses yang ada tanpa terburu-buru. Ibaratnya jika sedang mencari passion maka nikmati saja proses pencariannya. 

2. Cari mentor yang tepat. 

Seringkali dari kecil ketika kita mendengar perkataan bahwa menjadi dewasa itu menyakitkan. Jarang sekali kita menemukan orang dewasa yang terlihat benar-benar "dewasa". Tanpa sadar kata menyakitkan itu terbawa ke alam bawah sadar. 

Jika sedang dalam tahap mencari apa itu hal yang kita suka dan tujuan hidup maka kita bisa mencari mentor yang tepat. Mencari mentor yang tepat dapat membantu kita untuk menemukan apa tujuan hidup sebenarnya. 

Memiliki mentor juga membuat kita punya tempat curhat ketika ada masalah datang. Bisa saja hadirnya suatu solusi atau setidaknya kita jauh lebih lega setelah bercerita. 

3. Terus belajar. 

Belajar tak hanya soal nilai. Menjadi dewasa juga harus belajar. Belajar menerima bahwa tak semuanya realita hidup sesuai ekspektasi, terlebih kala pandemi melanda dunia. Apapun itu jangan berhenti untuk belajar. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun