Mohon tunggu...
Irhamna  Mjamil
Irhamna Mjamil Mohon Tunggu... Apoteker - A learner

Pharmacist | Skincare Enthusiast | Writer Saya bisa dihubungi melalui email : irhamnamjamil@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat untuk Ayah

17 Juni 2021   21:27 Diperbarui: 17 Juni 2021   21:36 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Josh Willink dari Pexels

Pagi ini aku terbangun dengan mata sembab. Beberapa kerabat yang menemani dari semalam masih terlihat di mataku. Mereka menemani dan menyiapkan makanan untuk dimakan. 

Perut sudah memberontak namun, mulut masih tak nafsu melihat makanan. Andai bukan dipaksa tak akan ku makan makanan ini. Makanan kesukaan yang rasanya hambar kali ini. 

Mataku tak berhenti memandangi sepeda tua di depan. Sepeda yang menemani dari kecil hingga aku beranjak dewasa. Sepeda tersebut membawaku pada kenangan puluhan tahun silam. 

*****

"Aira, ayo lari lebih kuat agar bisa sama kayak sepedaku" teriak Keisha kepadaku. 

Aku berasal dari keluarga miskin namun, selalu mengajarkan untuk bersyukur. Sepeda adalah barang mahal bagi kami. Ayah memang tak mampu membeli barang mahal. 

Salah satu cara aku untuk tetap senang saat bermain sepeda dengan teman-teman adalah mengejar sepeda mereka. Saat mengejar sepeda aku selalu membayangkan naik sepeda. Sambil mengejar sepeda teman-teman, aku selalu melewati ayah yang sedang bekerja sambil melambaikan tangan. 

Ayah membalas lambaian tangan namun, matanya terlihat berkaca-kaca. Aku tak paham mengapa mata ayah seperti ingin menangis. 

Menjelang lebaran, aku bahagia sekali karena melihat ada sepeda baru di depan rumah kami. Hatiku tambah senang karena juga dibelikan baju baru oleh ayah dan ibu. Sayangnya saat lebaran tiba ibu dan ayah tidak memakai baju baru. Saat aku bertanya mereka memberi alasan jika tak ada baju yang sesuai. 

Sepeda tersebut yang mengantarkanku dari SD hingga SMA. Sepeda yang dibeli ayah yang membantuku memperoleh beasiswa hingga bisa melanjutkan kuliah dengan beasiswa. 

Memperoleh beasiswa dan lulus dengan sangat memuaskan membuatku sibuk dan jarang menghubungi ayah dan ibu. Aku pun tidak tahu jika ayah sakit. Entah sudah berapa lebaran aku absen karena kesibukan pekerjaan. 

Karir dan masa depan yang cemerlang membuatku buta kala itu. Aku tak sadar bahwa setiap tahun ayahku berkurang usianya dan semakin menua. 

*****

Kini aku menyesali perbuatanku. Andai waktu bisa diulang aku ingin ada di kala waktu tua mereka. Aku baru sadar ayah tidak membeli baju lebaran karena uang sudah dipakai untuk membeli sepeda. 

Andai ada surat yang bisa sampai ke surga inginku meminta maaf. Andai ada surat yang bisa sampai ke surga ingin kukatakan pada Tuhan agar memberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Terima kasih ayah, lelaki yang akan selalu aku sebut sebagai cinta pertama. Maafkan anakmu yang terlanjur terjebak dengan urusan duniawi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun