Pagi ini aku terbangun dengan mata sembab. Beberapa kerabat yang menemani dari semalam masih terlihat di mataku. Mereka menemani dan menyiapkan makanan untuk dimakan.Â
Perut sudah memberontak namun, mulut masih tak nafsu melihat makanan. Andai bukan dipaksa tak akan ku makan makanan ini. Makanan kesukaan yang rasanya hambar kali ini.Â
Mataku tak berhenti memandangi sepeda tua di depan. Sepeda yang menemani dari kecil hingga aku beranjak dewasa. Sepeda tersebut membawaku pada kenangan puluhan tahun silam.Â
*****
"Aira, ayo lari lebih kuat agar bisa sama kayak sepedaku" teriak Keisha kepadaku.Â
Aku berasal dari keluarga miskin namun, selalu mengajarkan untuk bersyukur. Sepeda adalah barang mahal bagi kami. Ayah memang tak mampu membeli barang mahal.Â
Salah satu cara aku untuk tetap senang saat bermain sepeda dengan teman-teman adalah mengejar sepeda mereka. Saat mengejar sepeda aku selalu membayangkan naik sepeda. Sambil mengejar sepeda teman-teman, aku selalu melewati ayah yang sedang bekerja sambil melambaikan tangan.Â
Ayah membalas lambaian tangan namun, matanya terlihat berkaca-kaca. Aku tak paham mengapa mata ayah seperti ingin menangis.Â
Menjelang lebaran, aku bahagia sekali karena melihat ada sepeda baru di depan rumah kami. Hatiku tambah senang karena juga dibelikan baju baru oleh ayah dan ibu. Sayangnya saat lebaran tiba ibu dan ayah tidak memakai baju baru. Saat aku bertanya mereka memberi alasan jika tak ada baju yang sesuai.Â