Belakangan ini di masyarakat Aceh sedang heboh dengan IGTV Sherly Annavita. Banyak teman-teman saya yang menshare IGTV ini di story Instagram mereka. Sebenarnya isi dari IGTV tersebut baik dan memiliki informasi yang bermanfaat.
IGTV itu bertajuk "Aceh Termiskin? Alhamdulillah". Dibuka dengan perkataan Sherly yang membahas tweet Denny Siregar. Tweet tersebut secara tidak langsung mengejek Aceh atau rakyat Aceh sebagai juara provinsi termiskin se-sumatera.
Sherly dalam postingannya mengingatkan banyak pihak tentang sumbangsih leluhur Aceh di masa lalu dan saat kemerdekaan Republik Indonesia. Tentang pesawat Seulawah, pesawat pertama RI yang dibeli dari rakyat Aceh atau tentang radio Rimba Raya yang berperan penting dalam kemerdekaan RI. Tak ada yang salah dengan postingan Sherly, yang saya kritik adalah euforia masyarakat Aceh akan postingan tersebut.
We live in the present Not in the past
Memang banyak sekali sumbangsih Aceh terhadap kemerdekaan Indonesia. Jika dilihat dari sejarah masa lalu juga kesultanan Aceh yang pernah berjaya.
Belanda sendiri kewalahan memerangi rakyat Aceh saat itu. Belanda mengalami kerugian biaya yang begitu besar dalam perang menaklukkan Aceh. Bahkan sampai mengirimkan Snouck Hurgronje untuk menyusup ke dalam rakyat Aceh. Pengiriman Snouck ini berhasil memecahkan rakyat Aceh.
Sejarah masa lalu memang sangat membanggakan. Namun, apakah sekarang kita hidup di masa lalu? Faktanya kita hidup di masa sekarang. Masalah kemiskinan di Aceh bukan hanya masalah pemerintah namun, masalah rakyat di Aceh juga.
Saat Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data ini banyak yang mengulok-ulok dengan mengatakan "semiskin apapun rakyat Aceh tetap bisa makan". Ada juga yang menuliskan komentar di Instagram tentang sumbangsih masa lalu leluhur Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.
Dari fenomena mengungkit sejarah masa lalu bisa dilihat bahwa banyak rakyat Aceh yang belum bisa move on dari masa lalu. Padahal sesungguhnya kita hidup di masa sekarang, bukan di masa lalu. Jangan sampai kejayaan masa lalu hanya menjadi kenangan karena realitanya berbeda dengan sekarang.
Ada banyak penyebab yang membuat Aceh berada pada juara provinsi termiskin se-sumatera. Penyebab pertama adalah banyaknya sumber daya alam Aceh yang tidak dikelola dengan maksimal. Padahal jika dilihat dari geografis, Aceh memiliki sumber daya alam yang banyak meliputi gas alam, batu bara, kopi, hingga komuditi lainnya.
Kedua, dana otsus yang salah dikelola. Aceh, salah satu wilayah yang mendapat dana otonomi khusus bersama dengan wilayah Papua dan Yogyakarta. Di tahun 2020, jumlah total APBD dan dana otsus Aceh tak tanggung-tanggung mencapai 17 Triliun.
Besarnya uang daerah tersebut tentu membuat publik bertanya-tanya kemana selama ini dialokasikan dana tersebut?. Dilansir dari laman dialeksis.com, dana otsus sering kali dimanfaatkan oleh oknum politik demi kepentingan individu.
Seharusnya dana otsus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan masyarakat. Jika dengan dana otsus saja Aceh tak mampu berdiri sendiri, bagaimana tanpa dana otsus? Mungkin Aceh diambang kebangkrutan.
Penyebab ketiga, banyak masyarakat Aceh yang masih malas untuk belajar dan menciptakan peluang lapangan pekerjaan baru. Data terbaru di tahun 2020, menyebutkan bahwa tingkat pengangguran di Aceh meningkat menjadi 167 ribu dari 148 ribu.
Angka jumlah pengangguran ini didominasi oleh lulusan perguruan tinggi. Memang peluang kerja di Aceh tidak sebanyak di pulau Jawa. Sektor industri belum terlalu berkembang di sini. Efeknya banyak dari para lulusan yang menunggu pembukaan seleksi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tak heran bukan jika pekerjaan ASN adalah primadona di daerah ini ?.
Lantas melihat kondisi Aceh saat ini, apakah masih bangga membicarakan masa lalu yang jelas sangat berbeda dengan realita sekarang?
Solusi dari permasalahan Aceh
1. Biarkan perempuan sekolah setinggi mungkin
Loh? Kenapa dengan perempuan? Kalimat yang paling saya benci dari lelaki adalah "perempuan itu tugasnya hanya di dapur, sumur, dan kasur". Bukan hanya lelaki terkadang perempuan juga sering berkata seperti ini. Jika perempuan tugasnya hanya seperti itu, tak akan ada Cut Nyak Dhien yang ditakuti oleh Belanda.
Terlahir hidup di kota membuat saya tak percaya jika banyak perempuan yang dinikahkan setelah tamat SMA atau SMP. Di tahun 2017, ketika mengikuti program KKN di desa di Aceh, membuat saya percaya jika memang banyak perempuan yang terpaksa atau dipaksa menikah setelah tamat SMA atau SMP.
Lantas apa hubungannya perempuan dengan kemiskinan? Perempuan yang cerdas akan menghasilkan generasi cerdas. Perempuan juga dianggap sebagai penentu kualitas negara. Jika perempuan baik maka kualitas negara juga akan baik.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia. Masih banyak perempuan di Indonesia yang tidak bisa bersekolah setinggi mungkin karena budaya masyarakat sendiri. Tak heran Malaysia lebih maju jika dibandingkan dengan Indonesia. Dengan membiarkan perempuan sekolah setinggi mungkin maka akan menghasilkan generasi penerus yang cerdas dan dapat mengatasi persoalan kemiskinan di Aceh.
2. Bijak dalam memilih Pemimpin
Selama ini banyak masyarakat Aceh terlebih yang hidup di pedesaan yang memilih para anggota dewan berdasarkan uang yang diberikan. Kemiskinan dan ketidaktahuan masyarakat membuat uang adalah prioritas utama. Tentu saja ini berdampak pada kebijakan yang dibuat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suharyo (2016) mengenai "Otonomi Khusus di Daerah Aceh dan Papua di tengah fenomena korupsi, suatu strategi penindakan hukum". Dana otsus yang diperoleh Aceh dari tahun 2008-2013 mencapai jumlahnya 27,3 triliun.
Tentunya dana yang sangat besar ini diharapkan mampu meningkatkan perekonomian di Aceh. Faktanya di tahun 2013, angka kemiskinan di Aceh tetap tinggi. Mirisnya berdasarkan pemeringkatan, Aceh berada di tingkat pertama wilayah terkorup se-sumatera berdasarkan audit BPK.
Hingga saat ini dilihat dari jumlah kemiskinan tentu kasus korupsi dana otsus masih ada. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk bijak dalam memilih pemimpin. Ketidaktahuan masyarakat ini harus segera diatasi agar Aceh tak semakin jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Pendidikan adalah salah satu jalan agar masyarakat paham bagaimana memilih pemimpin dan efeknya ke depan.
3. Mulai menciptakan lapangan pekerjaan baru
Menjadi ASN memang tidak salah namun, ASN hanya mampu menampung sedikit dari jumlah pelamar yang mendaftar. Solusinya mau tidak mau adalah menciptakan lapangan kerja baru. Banyaknya sumber daya alam Aceh seharusnya mampu menciptakan peluang bagi generasi muda untuk berani menciptakan lapangan kerja baru.
Selama ini banyak mahasiswa di Aceh yang magang di pemerintahan karena tak banyaknya sektor industri. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Aceh untuk mensupport dana bagi mahasiswa agar dapat magang di luar Aceh. Harapannya ketika mahasiswa pulang, ia dapat menciptakan ide-ide yang baru dan inovatif.
Meskipun dalam lima tahun terakhir banyak UMKM yang hadir namun, hanya tersentralisasi di kota Banda Aceh saja. Adanya lapangan pekerjaan baru diharapkan dapat membuat Aceh bangkit dari kemiskinan.
Jas merah (Jangan Lupakan Sejarah) memang sangat penting namun, terlalu bangga akan masa lalu juga tidak baik. Jangan sampai kejayaan masa lalu berbanding terbalik dengan realita sekarang.
Referensi : Dialeksis, Disnakermobduk
Suharyo. 2016. Otonomi Khusus di Daerah Aceh dan Papua, di Tengah Fenomena Korupsi, Suatu Strategi Penindakan Hukum. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, volume 18 no 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H