Sebuah pepatah tertulis di buku pelajaranku saat SMP:
”Sejelek apapun anak monyet, ibu monyet akan menyebutnya cantik” Sebuah makna mengharukan dari kalimat ini selalu diyakini oleh banyak orang. Sayangnya, hal yang diyakini kebanyakan orang itu justru tidak berlaku untuk diriku. Seperti apapun rupaku, ibu adalah orang pertama yang benar-benar berbicara apa adanya agar aku paham siapa sosokku yang sebenarnya. Bahwa keburukan ini serupa kutukan yang mengiringi hidupku: jangan pernah berharap pada kasih atau keberuntungan. Kadang, cukup benar juga karena tingkah laku dan pemikiranku dinilai kebanyakan orang mulai dari melihat penampilan. Kalau aku melakukan suatu tindak kejahatan, maka masyarakat kemungkinan besar akan mencoreng wajahku habis-habisan dengan pisau, parang atau setidaknya, semua sepakat kalau eksekusiku akan dijalankan dengan cepat. Tidak akan ada yang mau mempertahankan penjahat buruk rupa dibanding serigala berbulu domba.
Kalau begitu, untuk apa masyarakat menuntutku berperilaku terpuji? Keluargaku yang menekanku habis-habisan? Segala tuntutan yang dikenakan padaku berakhir sia-sia. Buat apa mereka memoles sampah menjadi berlian? Itulah yang kupikirkan ketika memutuskan keluar dari rumah. Bulan masih menggantung di langit yang sama seperti mengawasi diriku, di jalan yang sangat panjang. Mungkin beberapa orang yang melihat menganggapku sebagai pemuda kehilangan arah.
Aku sendiri punya tujuan.
***
Aku sampai di pemukiman rumah-rumah warga yang berbaris rapi di sepanjang rel stasiun, berbatasan dengan pagar besi. Sebuah masjid kecil berdiri, sudah tua sepertinya atau memang jarang dibersihkan. Cat hijaunya telah mengelupas di sana-sini, lantainya berdebu meskipun karpet hijau di dalam terlihat bersih. Seorang warga menghampiri setelah melihatku duduk di saung yang terletak di dekat masjid.
"Aku mencari bapak masjid" Begitulah, orang-orang setempat memanggil tetua yang menjadi muadzin setiap waktu sebagai bapak masjid. Orang itu segera pergi setelah mengatakan akan memanggil bapak masjid.
Malam itu aku bersandar pada dinding saung, berusaha mengenyahkan sisa-sisa kesadaran. Setidaknya, tidur akan membuat rasa kedinginan dan kelaparanku hilang. Beberapa menit terlewat ketika mataku sudah terpejam, dalam sekejap aku terbangun, telingaku menangkap suara yang jauh, seorang tengah berlari kemari. Entah bagaimana, siluet wajah wanita yang ketakutan muncul di hadapanku, pada tengah jalan malam itu. Ia menatapku lekat-lekat, karena tahu aku telah melihatnya.
Mata beningnya berisyarat memohon, lalu ia berteriak minta tolong. Namun aku hanya bergeming, aku duduk di sana, masih meragukan naluriku sendiri, mungkin gadis itu terlibat dalam masalah dan tanpa sengaja, aku tertangkap melihatnya, ataukah aku harus mengulurkan tangan pada hewan yang terjebak dan berusaha bertahan hidup itu?
Seperkian detik, aku sadar telah berlari mengikuti jejaknya. Mungkinkah wanita itu adalah halusinasiku? Rasanya ia sudah menghilang serupa ditelan asap malam, sampai baru saja aku memelankan langkah, matanya menusukku. Aku melihat wanita itu bersandar pada pagar besi, perbatasan antara wilayah penduduk warga dan rel kereta. Rambutnya semrawutan, beberapa helai rambut jatuh mengitari lehernya, dan beberapa helai rambutnya dihembus angin yang menyusupkan dingin ke kulit.