Mohon tunggu...
irhamna
irhamna Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswi

bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kapan Pulang?

25 Juli 2024   19:44 Diperbarui: 26 Juli 2024   10:40 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku tidak tahu kapan ini berakhir?" Keluh seorang perempuan yang lagi-lagi menemukan jebakan baru tercecer di mana-mana, ulah dari kucing ibu Sely, pemilik empat rumah petak paling murah di kawasan Jakarta Selatan, yang  entah kenapa- suka sekali bertengkar dengan kucing jantan lainnya. Sambil lari terbirit- birit saking ketakutannya, kucing galak itu mengikuti sepak terjang si kucing liar membelah lorong memanjang di rumah petak ini. Jadilah di sekitar pintu-pintu rumah itu selalu ada ranjau yang terlihat seperti jejak tersangka.

Kring..!!

Perempuan itu tersentak, lantas menekan tombol hijau pada telepon genggamnya, yang berarti jawab panggilan dan terdengarlah suara melengking bosnya, serupa saingan Eminem. Sayangnya,  alih-alih merdu, perempuan itu jutru merasa nyawanya semakin dipangkas perlahan, dan lama-lama, ia takut membayangi akan mati berdiri saat diburu deadline pekerjaan, sedangkan perutnya sudah keroncongan dari semalam seolah-olah mengatakan "pilih mati atau makan?"

Belum sampai dua menit, si penelepon menggeram

"Sudahlah, karena ini awal bulan, saya mau pergi ke luar kota, saat kembali, pastikan proposal yang sudah direvisi ada di meja saya!" Salak si Bos di ujung kalimat.

Tut-

bahkan, lawan bicaranya belum sempat mengatakan satupun kata balasan, sambil menghela nafasnya yang terputus-putus, Perempuan itu memandangi langit kusam kamarnya, begitu dekat dan pendek jarak dengan kepalanya. Tidak tinggi atapnya seperti rumah di kampung halaman.

Malam kemarin, lagi-lagi bulan berganti, tahun ini konon akan kiamat menurut berita simpang siur. Entah sejak kapan, ia memang lupa dengan tanggal, hari atau bulan, menurutnya semua waktu itu tidak ada bedanya kini. Bekerja dan tidur seperti orang simulasi mati, dirasanya itu justru lebih untung, daripada berlomba-lomba menggocek kantong hanya demi menikmati malam minggu di ibukota, atau karena dia benci mengakui sendirian di malam kemarin, juga malam-malam sebelumnya?

Di layar ponselnya, tertera nomor paling atas yang paling suka menanyakan kabar. Suara ibunya tak pernah berubah, selalu sarat kekhawatiran dan haru di sana. Kadang, ia berusaha menyembunyikan rindu pada anaknya, satu-satunya putri yang malah memilih merantau, membanting tulang demi menyelamatkan diri dari hutang- piutang mendiang ayah. Meski si perempuan tahu, ia memilih pura-pura tak menyadari setiap kali ibunya bertanya "Kapan Pulang?" Ia hanya merasa terlalu berat menceritakan segala kebanggaannya di tengah semrawutnya hidup terlalu bebas.

Ia tidak pernah lupa suara ibunya, walau bayang wajahnya terkenang samar-samar. Bukan, sebenarnya ia tidak tahu wajah ibunya,  karena di ingatannya yang sudah berdebu, hanya ada kenangan sosok wanita berusia pertengahan empat puluh tahunan, sedang memetik belimbing di halaman, sebelum ia pergi dari kampung terpencil itu.

Waktu berlalu demikian cepat. Ternyata kemarin ibunya baru bertambah usia di angka delapan puluh, maka potret sang ibu malah terlihat asing baginya. Ketika saudaranya mengirim foto dari kampung, ia hampir tak mengenali ibunya yang tubuhnya makin kecil. Semakin mengingat keluarga jauhnya di sana, ia bekerja lebih keras lagi agar bisa pulang. Bisa kembali.

Besok aku pulang kalau kerjaku sudah selesai, janjinya hari ini

ya besok adalah hari biasa yang akan ia lalui sampai pukul sembilan malam, jam kerjanya selesai.

Satu-satunya waktu yang ia kenali hanya malam, sepanjang ingatan menghangatkan dirinya. Sejujurnya, ia tak pernah merasa sendiri saat itu. Ia ramai dengan mereka semua. Ditemukannya rasa sepi lebih banyak di pagi, ketika berjalan bersama rekan- rekan kerjanya, atau duduk di tengah kesibukan kantor, dan berbicara di hadapan banyak orang. Di situ ia selalu merasa seorang.

***

"Kapan aku bisa pulang?"

Tahun-tahun kemarin, ia pernah amat ingin pulang, dikejar hutang sana-sini dan realita telah mematikan lampu-lampu mimpinya. Ponsel terus berdering, nomor teleponnya telah menjadi sasaran empuk serangan penagih utang, bahkan beberapa kali ia dibuntuti dari rumah ke rumah lain. Padahal sudah lama lunas, ia juga sudah tidak pernah meminjam pada siapapun.

Akhirnya bebas juga dari hutang sialan itu. Akhirnya kini, ia bisa makan sepuas-puasnya.

Namun bagi Si perempuan, telepon menjadi momok yang mengerikan, ia jarang mengangkat telepon kecuali nomor yang dikenalnya. Nama kontak yang paling akrab baginya hanya satu, ibunya. Bahkan itu pun, sering ia matikan jaringannya karena kehabisan pulsa. Mungkin karena itulah, ibunya pikir ia sibuk sekali di kota. Panggilan-panggilan terbengkalai itu tak di sapa pemiliknya yang lebih sering mengetik pesan singkat.

***

Suatu senja yang sepi, ia bermimpi terbangun karena dering telepon yang berbunyi terus- menerus. Si pemanggil tak bernama. Kemana-mana ia coba berpikir, siapa yang menelepon berkali-kali begini? Jantungnya berdebar ketika mengangkat:

"Halo, ini siapa?"

"siapa?" Tanya balik orang yang menelepon

Termenung-menunglah ia, suara di ujung sana persis suara ibunya, dengan canggung dicoba katakannya "Aku bu, anak ibu"

"Oo, Kamu, Kamu" Kata ibunya seperti ikut melamun, lalu memanggil nama ia beberapa kali, tanpa suara yang jelas.

"Ibu, maaf aku tidak menjawab telepon ibu kemarin"

Terdengar suara ibunya makin memanggil namanya sedikit lebih jelas, tersimpan isak di sana

"Kau tidak mengangkatnya kemarin, sampai besok, sampai malam"

Si Perempuan terdiam, lalu dilihatnya jam sudah mau malam "Ibu sedang apa? tidak istirahat?"

"Ibu masih di sini, kapan kau pulang? Ibu ingin dimandikan olehmu"

"Besok bu" Jawab perempuan itu 

setengah sadar.

"Kemarin kau lari karena lupa, besok kau juga lupa" Sahut ibunya, bertalu-talu mengatakan lupa, seolah menggema ke sekeliling kamarnya yang remang.

"Besok aku pulang bu, kalau hidupku sudah usai" Sambungnya, ditutupnya telepon itu, dilupakan.

Begitu ia sadar dari mimpi, ponsel ada di dekat tangannya, layar hitamnya seolah baru saja mati tadi. Itu mimpinya yang tak kunjung selesai, ia selalu memimpikan dialog- dialog yang sama. Dan setiap kali terbangun, ia mengingat dering telepon seolah selalu berdering  di telinga, beriring dengan suara ibunya.

-Cerpen ini terinspirasi dari Puisi Jokpin berjudul "Telepon Tengah malam"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun