Mohon tunggu...
Muhammad Irham Maulana
Muhammad Irham Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hidup Untuk Menulis dan Menulis untuk Menghidupkan. Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Jangan biarkan kata-kata bersarang di kepala. Biarkan ia menyelinap ke dalam kertas dan berkelana di halamannya.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Makna Baju Baru dan Maaf-Maafan di Hari Kemenangan

27 April 2022   14:58 Diperbarui: 30 April 2022   08:45 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makna di Balik Baju Baru dan Maaf-Maafan Saat Lebaran

Menjelang H-7 Hari Raya Idul Fitri, toko-toko baju, gerai kebutuhan lebaran, dan Mall biasanya mulai banjir dengan para pembeli. Mereka datang beramai-ramai untuk melengkapi berbagai keperluan, terutama baju baru sebagai persiapan menyambut Hari Kemenangan. 

Belanja baju baru untuk dikenakan saat lebaran adalah aktivitas yang sering dilakukan, khususnya bagi mereka yang merayakan. Lebaran adalah momentum paling bahagia, dimana agenda tersebut umum dimeriahkan secara antusias dengan berbagai upaya, termasuk yang paling ketara mengenakan pakaian model baru.

Berpakaian serba baru merupakan fenomenologi yang rutin terjadi saat lebaran. Hal ini telah menjadi tradisi, di mana orang-orang kerap mengenakan baju baru ketika lebaran dari tahun ke tahun. Sebagian besar ada yang menilai bahwa  berpakaian baru berarti telah mengagungkan dan menghormati Idul Fitri atau Hari Kemenangan. 

Bahkan, tidak sedikit pula yang mengharuskan berpakaian baru dibarengi merias diri secantik mungkin bagi perempuan atawa seganteng mungkin bagi para pria. Tak tahu pasti mengapa berpakaian baru begitu penting dalam perayaan lebaran. Yang jelas, penampilan menarik dan fashionable ketika lebaran adalah momen yang selalu didambakan.

Selain mengenakan baju baru, ada juga tradisi praktek ibadah yang bersifat anjuran, yakni sembahyang Idul Fitri.  Secara ketentuan, ibadah tersebut dilaksanakan pada pagi hari sebelum fajar terbit dan biasanya diselenggarakan di masjid agung atau area luas, seperti di lapangan. 

Sembahyang Idul Fitri sengaja diterapkan di lokasi-lokasi luas agar mampu menampung semua pelaksananya, mengingat jumlah jamaah meningkat drastis ketimbang hari-hari biasa. Maklum, kerana sholat Idul fitri hanya ada setahun sekali sehingga barangkali orang orang tidak rela meninggalkan momen spesial itu sebagai penutup Ramadhan.

Tidak hanya itu, orientasi kemeriahan lebaran juga ditutup dengan melakukan praktek kesosialan, yakni kluputan (baca: bahasa jawa). Terminologi keluputan dikenal dengan aktivitas berkunjung dari rumah ke rumah untuk melakukan silaturahmi dan bermaaf-maafan. 

Istilah ini berorientasi pada pembentukan sikap dan perilaku damai, tentram, dan aman, dimana orang-orang mulai saling memaafkan dan menebar kebaikan atau kasih sayang dengan keluarga, kerabat, kolega, teman, dan atau tetangga. Praktek semacam ini penting dilakukan sebagai upaya mengakhiri permasalahan atau kesalahan secara sengaja atau dan tidak sengaja selama bulan Ramadhan.

Perlu Dimaknai

Tradisi baju baru begitu pula praktek kesosialan yang dikemas dalam keluputan perlu dimaknai secara praktek kontinu. Artinya, tradisi atau terminologi semacam ini perlu dikembangkan secara berkala, tidak hanya pada momen tertentu, melainkan setiap waktu. 

Seumpama saya menilai, khususnya baju baru saat lebaran, itu biasa-biasa saja, bahkan sangat lumrah. Berpakaian baru, merias penampilan fisik, dan lain sebagainnya sudah menjadi rutinitas atau aktivitas normal manusia untuk menyempurnakan trend dan gaya hidup. Adakah perbedaan mencolok mengenai berpakaian baru saat lebaran dengan hari-hari biasa?

Saya menjawab ada. Perbedaan itu tidak terletak sebagaimana keterangan di atas, tetapi lebih pada bagaimana cara kita menemukan pemahaman baru mengenai tradisi baju baru saat lebaran. Pertama, baju baru tidak hanya berlaku sahaja pada momen tertentu, melainkan setiap waktu sehingga bukan sesuatu yang istimewa. 

Kedua, makna tradisi baju seharusnya tidak hanya bermanifestasi pada hal-hal eksternal (fisik), melainkan internal (jasmani dan rohani) manusia pula. Dalam hal ini saya menyebut "tradisi baju baru saat lebaran" berarti juga harus mengaitkan"penampilan baru setelah lebaran" meliputi bentuk sikap, karakter, dan perilaku.  

Penampilan baru, artinya perubahan sikap, karakter, dan perilaku sepatutnya perlu diterapkan tidak hanya sekali setahun. Pasalnya, Tiga komponen tersebut adalah pakaian dalam (internal clothing) manusia yang dapat berubah setiap detik, menit, jam, bahkan kapanpun. 

Tidak menutup kemungkinan, tiga komponen itu tidak menghasilkan buah yang manis tatkala pohonya dirawat secara batas harian. Kalau berpakaian baru laik berbanding lurus hanya pada momen lebaran, ini berarti mengucilkan makna Hari Raya Idul Fitri, dimana manifestasi Hari Kemenangan tidak mengenal batas waktu, tradisi, bahkan pengertian  sekalipun. Tetapi, sekali lagi kemenangan mampu berkamuflase menjadi komponen yang renewable dan produktif baik untuk diri sendiri atau orang lain.

Sudah pasti, menghasilkan sesuatu yang baru dan produktif dibutuhkan komponen yang memadai. Semisal, kita akan menciptakan perubahan baru pada generasi Z, maka kita butuh usaha, kecerdasan, kedewasaan, dan kesungguhan untuk merealisasikannya. 

Ini tidak jauh beda dari usaha-usaha menciptakan penampilan baru yang produktif dan bermanfaat juga butuh kerja sama dari kesadaran setiap orang agar mampu memaknai secara jelih dibalik tradisi baju baru dan keluputan saat lebaran. Terminologi keluputan dapat menjadi salah satu alternatif untuk melangsungkan keharmonisan, kerukunan, kesejahteraan antar bermasyarakat.

this photo taken from tagar.id
this photo taken from tagar.id

Di sisi lain, Orientasi keluputan dapat menumbuhkan sikap dan perilaku saling menyayangi dan mengasihi. Rasa sayang kemudian menimbulkan perilaku menghargai dan menghormati. Sedangkan, mengasihi berpotensi membentuk individu saling menolong dan bergotong royong. 

Kalau kemudian digambarkan secara jelas, aktivitas semacam ini nampaknya telah dikubur secara perlahan dan pemandangan ini dapat dilihat hanya dalam tempo waktu yang singkat. Mengapa tidak diperlihatkan lalu kemudian dilakukan pada hari-hari waras?

Barangkali, Lebaran masa kini tidak seperti masa-masa dahulu, di mana orang-orang dahulu tidak disibukkan memilah lalu berbelanja baju, tetapi pada kelayakan penampilan baru dalam jasmani dan rohani. Dalam hal keluputan juga, zaman dahulu kata kakek saya orang-orang kerap serentak dan bergerombolan berkunjung dari satu rumah ke rumah. 

Bahkan ketika bertamu mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercengkerama, bercerita atau membahas hal-hal penting. Saya yakin penampilan baru itu lambat laun akan senyap, di mana pemandangan baju baru tidak lagi mengaitkan upaya menyehatkan kondisi internal tubuh, begitu pula saling bermaaf-maafan dan silaturahmi digerakkan oleh segelintir orang dalam tempo waktu seperti membuka layar gadget.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun