Tradisi baju baru begitu pula praktek kesosialan yang dikemas dalam keluputan perlu dimaknai secara praktek kontinu. Artinya, tradisi atau terminologi semacam ini perlu dikembangkan secara berkala, tidak hanya pada momen tertentu, melainkan setiap waktu.Â
Seumpama saya menilai, khususnya baju baru saat lebaran, itu biasa-biasa saja, bahkan sangat lumrah. Berpakaian baru, merias penampilan fisik, dan lain sebagainnya sudah menjadi rutinitas atau aktivitas normal manusia untuk menyempurnakan trend dan gaya hidup. Adakah perbedaan mencolok mengenai berpakaian baru saat lebaran dengan hari-hari biasa?
Saya menjawab ada. Perbedaan itu tidak terletak sebagaimana keterangan di atas, tetapi lebih pada bagaimana cara kita menemukan pemahaman baru mengenai tradisi baju baru saat lebaran. Pertama, baju baru tidak hanya berlaku sahaja pada momen tertentu, melainkan setiap waktu sehingga bukan sesuatu yang istimewa.Â
Kedua, makna tradisi baju seharusnya tidak hanya bermanifestasi pada hal-hal eksternal (fisik), melainkan internal (jasmani dan rohani) manusia pula. Dalam hal ini saya menyebut "tradisi baju baru saat lebaran" berarti juga harus mengaitkan"penampilan baru setelah lebaran" meliputi bentuk sikap, karakter, dan perilaku. Â
Penampilan baru, artinya perubahan sikap, karakter, dan perilaku sepatutnya perlu diterapkan tidak hanya sekali setahun. Pasalnya, Tiga komponen tersebut adalah pakaian dalam (internal clothing) manusia yang dapat berubah setiap detik, menit, jam, bahkan kapanpun.Â
Tidak menutup kemungkinan, tiga komponen itu tidak menghasilkan buah yang manis tatkala pohonya dirawat secara batas harian. Kalau berpakaian baru laik berbanding lurus hanya pada momen lebaran, ini berarti mengucilkan makna Hari Raya Idul Fitri, dimana manifestasi Hari Kemenangan tidak mengenal batas waktu, tradisi, bahkan pengertian  sekalipun. Tetapi, sekali lagi kemenangan mampu berkamuflase menjadi komponen yang renewable dan produktif baik untuk diri sendiri atau orang lain.
Sudah pasti, menghasilkan sesuatu yang baru dan produktif dibutuhkan komponen yang memadai. Semisal, kita akan menciptakan perubahan baru pada generasi Z, maka kita butuh usaha, kecerdasan, kedewasaan, dan kesungguhan untuk merealisasikannya.Â
Ini tidak jauh beda dari usaha-usaha menciptakan penampilan baru yang produktif dan bermanfaat juga butuh kerja sama dari kesadaran setiap orang agar mampu memaknai secara jelih dibalik tradisi baju baru dan keluputan saat lebaran. Terminologi keluputan dapat menjadi salah satu alternatif untuk melangsungkan keharmonisan, kerukunan, kesejahteraan antar bermasyarakat.
Di sisi lain, Orientasi keluputan dapat menumbuhkan sikap dan perilaku saling menyayangi dan mengasihi. Rasa sayang kemudian menimbulkan perilaku menghargai dan menghormati. Sedangkan, mengasihi berpotensi membentuk individu saling menolong dan bergotong royong.Â
Kalau kemudian digambarkan secara jelas, aktivitas semacam ini nampaknya telah dikubur secara perlahan dan pemandangan ini dapat dilihat hanya dalam tempo waktu yang singkat. Mengapa tidak diperlihatkan lalu kemudian dilakukan pada hari-hari waras?