Mohon tunggu...
Muhammad Irham Maulana
Muhammad Irham Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hidup Untuk Menulis dan Menulis untuk Menghidupkan. Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Jangan biarkan kata-kata bersarang di kepala. Biarkan ia menyelinap ke dalam kertas dan berkelana di halamannya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Kompilasi Renungan

8 Juli 2020   02:26 Diperbarui: 8 Juli 2020   02:21 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : sepositif.com

Sajadah petang

Aku gelar kelasa ditengah lelapan

Ditengah pulas manusia, ditengah nyanyian hewan

Sunyi bak nadi tinggal di kuburan

Hanya aku dan lembaran-lembaran pengaduan

lengkuk tubuh gerak gerik ke akhir kening

dermaga harapan dan penyesalan

tertumpuk  clotengan dan kapur putih

kutadahkan dengan sedih dan kasih

kutitipkan seru nada pada angin

ingin rasanya kugerayahi samarmu

bertemu nyata meski MUSA tak sanggup

melawan cahaya tertunda gelap

Nada Cinta 

 Senandung menggetarkan jiwa

Dari pilu-pilu yang menyesak dada

Dari belingsatan yang mendekam kepala

terlalu lama tali temu menanti

Pada lansia bertemu jua

Lentik jemari memetik benang nada

Melodi-melodi itu mengobati segudang rindu

Irama-irama itu membuka penat yang lama terbendung

Syair-syair itu menyejukkan hati yang gersang

 

Bak mentari pagi sinar harapan

Bak rembulan berdiri tegap di tengah gelap hujan

Tarikanlah nada itu, dendang riangkan

Jangan lagi kenal waktu

Agar aku tak kesepian

Menari ditengah Hujan 

 Mengapa aku harus berbeda ?

Ditengah manusia bermain bola

Ditengah Pemuda memainkan hedonya

Tertinggal aku dan dua kaki di atas kursi

Mengapa aku begini ?

Apa karena sejarah malam pertama?

Apa karena tuhan tak dapat melihat ?

Atau karena aku sendiri yang tak mengenal diri ?

Saat itu, mereka mengatakan "hai pelumpuh"

Betapa hancurnya hati, betapa keriputnya harapan

Yang aku rasakan:

Kali waktu menabung luka menjerat

Menelan pujian yang berkarat

aku hanya tersenyum bersama tumpukan lara

"Maaf, aku begini kau tidak keberatan kan?" Katanya.

Aku hanya menahan air mata dan ikut tertawa

           

            Kau tak pernah berjalan sendiri 

Kapanpun kau bergiat

Kau selalu bersama waktu

Kemanapun kau pergi

Kau selalu bersama jejak

Bagaimanapun kau sendiri

Kau selalu bersama sepi

Bagaimanapun kau sembunyi

Kau selalu berteman kegelisahan

Bagaimanapun kau jujur

Kau selalu bersama rasa pahit

Bagaimanapun kau berbohong

Kau tetap bersama kedapatan

Kapanpun, kemanapun dan bagaimanapun

Kau tak pernah sendiri

Selalu ada yang menemani

Sayangnya mereka jarang kau anggap

Sepasang waktu 

 Para bocah bermain kerikil dan genteng di teras rumah

Kita dapat saksikan burung-burung bernyanyi

Kita dapat saksikan  tumbuhan jamak tersenyum

kini waktu lengang seketika

Sudah lama, sudah lama kita tak mengenalnya

Diantara waktu purba dan modis

Sepasang waktu bertukar cerita

Aku yang sekarang tidak seperti dulu

Aku yang dulu tidak seperti sekarang

Kita adalah pilihan kita sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun