Dunia kata adalah dunia logika. Tulisan menjadi kristalisasi pemikiran dan jalan pikiran.
Setelah menulis 170 artikel Kompasiana, meraih 23 ribu lebih views. Ditambah 42 followers. Saya menarik sebuah benang merah bahwa tulisan akan menemui nasibnya sendiri. Penulis hanya membentangkan jalan.
Andaikata penulis adalah pembuat kapal. Sedangkan tulisan adalah kapalnya. Ketika kapal sudah jadi. Kapal telah mengapung di laut. Siap untuk perjalanan panjang. Siapa saja yang akan naik di kapal itu tidak bisa diprediksi si pembuat kapal. Bisa jadi si pembuat kapal juga ikut berlayar dengan kapal buatannya sendiri.
Dalam dunia menulis, bisa jadi yang pertama mendapatkan manfaat dari tulisan-tulisannya adalah si penulisnya sendiri. Sebelum akhirnya sampai di hati pembaca.
Sebagaimana tulisan-tulisan hebat yang pernah kita baca. Saya yakin tidak semuanya masuk di kepala.
Sebagian besar apa yang telah kita baca telah kita lupakan. Dengan sedikit gambaran tentang gambar besar, ringkasan dan seberkas rasa yang kita hayati saat membacanya.
Begitu pula nasib tulisan-tulisan saya. Saya tidak mengingat secara rinci semua yang pernah saya tulis di Kompasiana. Proses menulis itu sendiri adalah sebuah penemuan gagasan, pemaksaan akal agar menghasilkan tulisan yang saya inginkan.
Sebagus apapun tulisan yang saya buat. Belum tentu bernasib mujur. Dalam artian memberi manfaat bagi pembacanya.
Bisa jadi, nasib tulisan saya hanya sebatas memberi manfaat kepada saya sebagai penulisnya.Â
Memiliki kemampuan menulis dengan baik saja adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Sebuah cara untuk melepaskan "segala suara di kepala".
Melepaskan gemuruh pemikiran yang terangsang oleh realita sosial. Melepaskan hormon stress. Menghasilkan hormon kebahagiaan yang melimpah.
Saat angka views artikel saya belum menyentuh angka 20.000 views, saya mengejar produktivitas dalam menulis artikel di Kompasiana. Mulai dari membuka catatan-catatan harian yang sudah saya tulis beberapa tahun lalu. Menulis tentang sepakbola. Kemudian, saya mencari "harta Karun" dari blog pribadi saya yang domainnya sebentar lagi expired. Saya "masak" lagi. Agar cocok untuk pembaca di Kompasiana. Hingga mengulas lagi buku lama saya, Merdeka dari Fobia.Â
Semua itu saya lakukan untuk meraih target 25.000 views secepat mungkin. Namun, sudah di angka 23rb-an. Saya merasakan semangat menulis yang menurun. Setelah saya periksa lagi, ternyata saya melupakan satu hal: tujuan awal.
Tujuan awal saya menulis di Kompasiana adalah untuk "bersuara". Bukan untuk sekedar mencari rupiah dari merangkai kata-kata.
Tujuan saya adalah untuk menemukan gaya menulis original versi terbaik dari saya sendiri. Bukan untuk memacu adrenalin dengan menulis tentang sepakbola yang tidak begitu saya kuasai.
Tidak perlu ditutupi bahwa rupiah ada dalam semangat untuk berkarya. Karena angka adalah bukti nyata. Sebagai salah satu indikator keberhasilan seseorang dalam hal apapun.
Hal-hal seperti pembaca yang tersentuh, tersenyum, mendapatkan manfaat dari apa yang kita tulis. Memang penting. Tetapi itu semua amat sulit untuk dilacak.
Namun, dengan membaca angka views, followers, komentar, rating tulisan, masuk headline atau tidak. Masuk kategori Pilihan atau tidak. Indikator-indikator ini lebih mudah untuk dibaca, ditelaah dan jadi kalkulasi produktivitas menulis di Kompasiana.
Saya sampai pada kesimpulan bahwa ketika saya mulai "belok" dari tujuan awal saya dalam menulis. Proses menulis menjadi setengah terpaksa. Menghasilkan rupiah dari tulisan itu memang penting. Tetapi tidak lebih penting daripada mendapatkan manfaat dari proses menulis itu sendiri. Yang pada akhirnya, tulisan saya ada manfaatnya bagi pembaca.
 M. Irham Jauhari, Penulis Merdeka dari Fobia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H