Untuk menjadi kreatif, jangan pusingkan soal bakat. Kalau ada di benakmu, apakah aku berbakat? Cobalah untuk singkirkan pertanyaan seperti itu.
Belum apa-apa kamu sudah menggantungkan harapan yang berlebihan kepada bakat.
Bakat memang membuat setiap proses kreatif menjadi lebih ringan dan mudah. Tetapi itu bukan hal yang perlu dipikirkan di awal.
Sebagai pemula, cukup mulai dari pertanyaan yang paling mendasar, kreatifitas seperti apa yang saya inginkan? Pertanyaan ini menuntun pada tujuan akhir, yaitu karya.Â
Karya seperti apa yang ingin kamu buat?
Tujuan menentukan arah perjalanan.
Berproses kreatif adalah perjalanan panjang. Banyak jam terbang yang harus diraih detik demi detik. Konon, untuk mencapai level PRO dalam hal apapun, dibutuhkan 10.000,- jam terbang. Sepuluh ribu jam latihan. Sepuluh ribu jam berkutat dalam proses yang penuh dengan peluh keringat, peras keringat, banting tulang, kaki di kepala, kepala di kaki.
Tentukan sejak awal mau kemana.
Bidang kreatif apa yang ingin ditekuni. Bidang mana yang primer, mana bidang sekunder. Karena memang manusia banyak yang punya kemampuan lebih untuk melamun. Merasa bisa multitasking setiap waktu. Merasa hebat dan merasa lebih dari orang lain dan egois.
Siapa idolamu di bidang yang kamu incar? Belajar dari mereka. Cari tahu sebanyak mungkin pemikiran mereka. Gali sebanyak yang kamu bisa. Bagaimana mereka melakukannya. Bagaimana mereka mengeksekusi ide menjadi nyata.
Memulai dari hal yang paling digemari.
Lakukan apa yang menjadi hobi kamu. Mulailah dari sana untuk berkarya. Lakukan hal-hal yang akan mendekatkan kamu kepada tujuanmu. Milikilah keberanian untuk memulai. Bersedia untuk terlihat sedang tertatih-tatih.
Siap menelan kegagalan.
Perjalanan masih jauh. Kegagalan hanyalah lembar kesebelas dari rangkaian 100 lembar menuju tujuan akhir yang ingin kamu capai dalam hidup. Tidak ada ceritanya sekali tembak langsung tepat sasaran. Sniper terbaik dalam sejarah umat manusia, pada tembakan pertama dalam hidupnya, apakah tepat sasaran?
Kegagalan adalah keniscayaan. Kita ambil contoh: penulis. Ketika menulis sesuatu, draft pertama selalu berupa sampah. Headline masih belum menarik. Tulisan masih belepotan. Logika tulisan masih kacau. Draft demi draft revisi harus dilalui. Harus dibayar dengan waktu yang tidak sebentar. Harus menguras energi lebih dari draft-draft sebelumnya. Effort lebih banyak.