Wawan hanya diam sambil mengunyah makanan. Sekelebat Ibuk berbalik badan dan kembali ke dapur. Lalu mencuci piring.Â
Perasaan jengkel, selalu dibanding-bandingkan dengan Budi. Meskipun rasanya ingin sekali menyudahi makan meskipun belum selesai. Ada perasaan tak tega pada Ibuknya. Dalam sepiring nasi dadar di hadapannya. Ada cinta yang tak bisa diukur dengan kata. Ada perasaan sayang yang tak terhingga dari sang Ibuknya. Ada seorang Ibu yang ingin hidup anaknya mapan, bahagia, berkeluarga. Seperti orang-orang sukses lainnya.
Makanan harus dihabiskan. Usianya sudah tiga puluh. Membantah ucapan Ibu adalah dosa besar. Apapun yang dikatakan Ibunya, Wawan harus siap, harus menelannya bulat-bulat. Lalu menjalankan hidup seperti yang ia inginkan.
***
Sampai di puncak gunung. Wawan segera menyetel perlengkapan lukisnya. Tak peduli dengan tenda yang belum terpasang. Apalagi hanya soal makanan.Â
Kata-kata Ibunya benar-benar merenggut ketenangan batinnya. Alat lukis telah siap. Wawan duduk dan larut dalam lukisannya. Di hadapannya adalah alam yang luas bebas. Hamparan keindahan. Inspirasi tanpa batas.
Meski berhadapan dengan inspirasi alam yang luas tanpa batas. Lukisan Wawan tak jelas. Tak beraturan. Tak sedikitpun menggambarkan alam yang terbentang. Abstrak.
Seniman adalah manusia bebas, begitulah prinsip Wawan. Ia tak mau dikekang oleh siapapun. Ia tidak mau menjadi "anak buah". Ia tak mau disuruh-suruh. Ia ingin menjadi manusia bebas.
Soal uang, memang ia belum menghasilkan uang yang cukup untuk menghidupinya. Tapi kebahagiaan adalah nomor satu. Melukis membuatnya bahagia. Titik.
***
Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lukisan itu berakhir tak beraturan, tidak merefleksikan apa-apa, sampah. Persis lima jam lebih lima puluh sembilan menit. Ia terduduk dan hanyut dalam warna, kuas dan kanvas. Seseorang yang tidak mengerti seni berpikir bahwa setiap lukisan yang tidak indah adalah sampah. Wawan tidak peduli.