Saya berada di posisi bimbang. Gusar. Tak tau mau kemana. Kehilangan semangat. Saya hanya bisa diam. Mencerna perkataan Hinan.
"Kalau dipikir-pikir, menulis itu memang buang-buang waktu. Dan tidak semua tulisan bisa dibaca. Minimal enak dibaca. Jelas apa yang disampaikan. Mudah dipahami. Sering kali tulisanmu itu buta. Tanpa tujuan. Semrawut."
Biarlah panas perasaan saya. Inilah cambuk untuk melucuti keangkuhan saya selama ini. Saatnya untuk mendengarkan.
"Jadi penulis harus punya PO-SI-SI. Harus jelas arahnya kemana. Tujuan pembacanya siapa. Usia pembacanya berapa. Ingin dikenal seperti apa. Apakah tulisan jenaka, inspiratif atau tulisan ringan yang mudah dikunyah. Juga mudah dilupakan. Atau yang selalu terkenang. Yang mudah dipahami atau yang ruwet. Membuat pembaca tertawa atau yang membuat pembaca merengut. Harus jelas dari awal. Jangan pergi ke sebuah tempat, tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas. Kamu bukan anak kecil lagi."Â
Muka Hinan memerah, pandangan matanya tajam, tak peduli lagi. Apakah saya tersinggung atau tidak.
"Sudah jangan ngomong gitu lagi."
Asap kopi di cangkir masih mengepul manis. Manja menjilat udara. Sekonyong-konyong Hinan berdiri dengan muka mangkel. Ia mengepak barang-barangnya. Menyandang tasnya. Dan melangkah meninggalkan saya.
Saya masih bengong dan gak tau harus berkata apa. Semakin Hinan menjauh, semakin saya mendengar  kata-katanya tadi mengiang di telinga. Terputar jelas setiap ucapan Hinan. Kemarahan. Kejengkelan. Perhatian.
Ingin saya mengejar. Tapi ada yang lebih penting daripada sekedar mengejar Hinan. Seperti di sinetron Indonesia. Terlalu drama dan mudah ditebak. Penonton Indonesia sudah hafal betul drama model begitu.
Saya seruput Black Coffe. Menyalakan sebatang rokok. Menghirupnya dalam-dalam. Sembari mencerna kemarahan Hinan. Lalu menghempaskan kepulan asap layaknya Don Corleon menghembuskan cerutu.
Menyalakan Macbook, mengetik beberapa kata. Untuk mengenang hari ini.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!