Mohon tunggu...
M. Irham Jauhari
M. Irham Jauhari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pendiri Terapifobia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Venesia Minggu Pagi

9 Maret 2023   13:35 Diperbarui: 9 Maret 2023   13:45 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen "Venesia Minggu Pagi" oleh Martin  Pchy (pexels.com)

"Kalau dipikir-pikir, menulis itu memang buang-buang waktu. Dan tidak semua tulisan bisa dibaca. Minimal enak dibaca. Jelas apa yang disampaikan. Mudah dipahami. Sering kali tulisanmu itu buta. Tanpa tujuan. Semrawut."

Sinar matahari pagi menyoroti kota Venesia yang dipenuhi bangunan-bangunan tua bergaya Eropa. Tampak sederhana, namun keindahan kota ini terpancar dari setiap bangunan yang ada. Terkesan diatur dengan rapi dan mewah. 

Kesan seperti itu jarang kita temukan dari kota-kota di tanah air. Di tanah air, kota-kota dihiasi dengan bangunan yang terasa merusak pemandangan. Meskipun ada upaya pemerintah untuk merapikan dan menata, namun kesan yang dihasilkan tidaklah memuaskan. Venesia memberikan suasana yang memukau dan berkesan.

Hari ini Venesia sedang cerah. 1 Agustus 2022.

"Aku berhenti menulis, nan." membuka obrolan di sebuah kafe kecil.

"Jangan sembrono kalau ngomong." Hinan mengernyitkan dahi, tak setuju. Ia lanjut menceramahiku. Membuka memori SMA dulu.

Sekarang ia menjadi fotografer profesional. Saya masih antah berantah. Menulis kacau. Blog sepi pembaca. No Comment. Tidak ada komentar sama sekali. Boro-boro mikirin Google Adsense. Merana. Bisa dibilang, ia lebih sukses daripada saya. Hinan telah setapak di puncak karir. Saya masih merangkak.

"Proses kreatif itu harus dari hati. Aku gak tahu apa yang benar buat kamu. Kamu yang lebih tahu. Kamu sudah berjuang sampai titik ini. Jika ingin ganti profesi, kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang? Bahkan sebelum kamu mencapai apa yang kamu inginkan? Sayang kalau kamu berhenti di tengah jalan. Sayang banget, gan."

Kata-katanya mulai menusuk harga diri saya. Saya terpana, terdiam dan melamun. Andaikata saya berada di posisi Hinan. Pun, saya mengatakan hal yang tidak jauh beda. Sekarang giliran saya mendengarkan.

Saya tidak berharap kata motivasi yang halus. Saya ingin, Hinan memarahi saya. Kalau perlu memaki saya. Apalah arti makian. Yang terpenting masalah saya selesai. Dapat solusi. Itu yang saya harapkan.

Saya berada di posisi bimbang. Gusar. Tak tau mau kemana. Kehilangan semangat. Saya hanya bisa diam. Mencerna perkataan Hinan.

"Kalau dipikir-pikir, menulis itu memang buang-buang waktu. Dan tidak semua tulisan bisa dibaca. Minimal enak dibaca. Jelas apa yang disampaikan. Mudah dipahami. Sering kali tulisanmu itu buta. Tanpa tujuan. Semrawut."

Biarlah panas perasaan saya. Inilah cambuk untuk melucuti keangkuhan saya selama ini. Saatnya untuk mendengarkan.

"Jadi penulis harus punya PO-SI-SI. Harus jelas arahnya kemana. Tujuan pembacanya siapa. Usia pembacanya berapa. Ingin dikenal seperti apa. Apakah tulisan jenaka, inspiratif atau tulisan ringan yang mudah dikunyah. Juga mudah dilupakan. Atau yang selalu terkenang. Yang mudah dipahami atau yang ruwet. Membuat pembaca tertawa atau yang membuat pembaca merengut. Harus jelas dari awal. Jangan pergi ke sebuah tempat, tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas. Kamu bukan anak kecil lagi." 

Muka Hinan memerah, pandangan matanya tajam, tak peduli lagi. Apakah saya tersinggung atau tidak.

"Sudah jangan ngomong gitu lagi."

Asap kopi di cangkir masih mengepul manis. Manja menjilat udara. Sekonyong-konyong Hinan berdiri dengan muka mangkel. Ia mengepak barang-barangnya. Menyandang tasnya. Dan melangkah meninggalkan saya.

Saya masih bengong dan gak tau harus berkata apa. Semakin Hinan menjauh, semakin saya mendengar  kata-katanya tadi mengiang di telinga. Terputar jelas setiap ucapan Hinan. Kemarahan. Kejengkelan. Perhatian.

Ingin saya mengejar. Tapi ada yang lebih penting daripada sekedar mengejar Hinan. Seperti di sinetron Indonesia. Terlalu drama dan mudah ditebak. Penonton Indonesia sudah hafal betul drama model begitu.

Saya seruput Black Coffe. Menyalakan sebatang rokok. Menghirupnya dalam-dalam. Sembari mencerna kemarahan Hinan. Lalu menghempaskan kepulan asap layaknya Don Corleon menghembuskan cerutu.

Menyalakan Macbook, mengetik beberapa kata. Untuk mengenang hari ini.

Dibutuhkan jam terbang yang tidak sedikit. Itu pasti.
Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, kelelahan. Itu harus.
Penulis baru, seperti halnya saya sendiri.
Lebih sering patah hati. Lelah sendiri.
Kesepian.
Daripada bergelimbang cuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun