Mohon tunggu...
M. Irham Jauhari
M. Irham Jauhari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pendiri Terapifobia.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seniman di Mata Saya

3 Desember 2022   02:23 Diperbarui: 3 Desember 2022   02:35 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Cup of Couple (Pexels.com)

Tak sembarang orang yang bisa merasakan keindahan seni?

Apa memang benar begitu?

Apakah seni yang luhur, yang tinggi, yang dalam, hanya bisa dirasakan, hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berjiwa seni?

Apakah orang seperti saya yang berjiwa kuli tidak layak untuk merasakan sebuah seni?

Apakah keindahan hanya untuk orang -orang tertentu saja?

Melakukan apa yang kita sukai adalah kenikmatan tersendiri. 

Tidak ada yang lebih nikmat daripada melakukan pekerjaan yang kita sukai.

"Seni itu sebuah misteri." Begitu kata Bima.

Tetapi saya tidak setuju. Mungkin, seni memang tak berwujud nyata. Karyanya memang nyata. Tetapi 'rasa seni'-nya itulah yang mahal.

Seni itu soal selera. Selera rakyat jelata dan selera Menteri Perekonomian bisa saja punya selera seni yang sama.

Seni bukanlah melulu soal lukisan yang menawan. Bukan campur bawur warna yang semrawut. Orang menyebutnya lukisan abstrak.

Saya pikir bukan itu. 

Rasa adalah sesuatu yang membuat seni itu dibayar mahal. Rasa yang tidak bisa digantikan oleh kata-kata. Kolektor seni bukan semata-mata mengoleksi benda. Ia sejatinya sedang mengoleksi rasa. 

Rasa yang timbul dari sebuah kerja kreatif. Rasa yang dihasilkan dari berkesenian. Untuk itulah penciptanya disebut seniman. Karena merekalah yang bisa menempelkan rasa pada gambar. Menempelkan rasa pada warna. Mengumpulkan energi cinta dalam setiap gerakan, tarian, drama, puisi, novel, film. Dan tak terhitung jumlahnya.

Seniman ialah manusia yang ditugaskan untuk membuat suasana menjadi hening sekaligus gempita. Hening dalam bisingnya dunia. Gempita dalam sunyinya kesepian.

Karena, keindahan hanya bisa dirasakan oleh hati. Dan, setiap hati tidak bisa merasakan getaran yang berbeda. Vibrasi yang berbeda dengan yang diharapkan, bisa menimbulkan perasaan yang tidak tentu.

Seperti membaca sebuah tulisan. Tidak peduli siapa penulisnya, kalau memang tulisannya bagus, akan tetap bisa dinikmati. Tetapi, jika penulisnya seterkenal apapun, kalau memang tulisannya jelek, tetap tidak akan ada yang baca.

Menulis adalah hobi bagi saya. Karena menulis dapat menjadi stress healing bagi saya. Daripada melakukan hal-hal yang merugikan. Lebih baik menuangkan dalam bentuk tulisan. Saya menikmati setiap detik menulis.

Karena menulis bisa menjadi pelepas beban. Meringankan pikiran, menjernihkan hati yang keruh. Meluruskan logika yang melenceng.

Apapun beban pikiranmu, lakukan sesuatu yang kamu sukai. Atau, diam sampai perasaan yang lelah itu pulih dengan sendirinya. Jangan memaksakan perasaanmu. Ketika firasat berkata tidak, jangan memaksakan diri. 

Perasaanmu lebih peka daripada yang kamu kira. 

Rasa tidak pernah bohong. 

Jangan membohongi diri sendiri. Karena ujung-ujungnya yang kamu cari adalah ketenangan jiwa. 

Mendeteksi 'Rasa'

Saya bukan siapa-siapa, hanya seorang yang suka menulis, dan merasa bahagia, jika tulisan saya dibaca. Apalagi sampai puluhan ribu orang membacanya. Cukup membuat saya bahagia. Entah ada yang apresiasi atau tidak, itu soal lain. Tidak saya pikir. Yang, penting tulisan saya dibaca, sudah membuat saya senang.

Teorinya sederhana, apapun kondisinya, cek nafasmu. 

Hehehe.

Kalau masih bernafas, berarti kamu manusia. Hehe. Itu penting.

Gini, kalau nafasmu terburu-buru, pasti perilakumu terburu-buru, gak bisa tenang. Tetapi, dalam kondisi tenang, nafasmu semakin jarang.

Masih bingung? baca lagi.

Seni Tidak Menyediakan Jawaban

Suatu hari saya dengan bodohnya, bertanya, "Teater tadi artinya apa?" Sang seniman itu menjawab, "Seni tidak menyediakan jawaban, seni itu ekspresi, arti dari seni itu penonton yang menentukan."

Saya jadi berkesimpulan, seni itu sesimpel itu.

Seniman, Makhluk Tuhan Paling Sensi

Sebagai penulis pemula, rasanya judul di atas cukup membebani mental saya. Saya takut, Anda semua, para seniman tersinggung.

Ada baiknya saya mengklarifikasi-nya terlebih dahulu.

Sensi dalam tulisan ini, saya maksudkan adalah kepekaan. Kemampuan merasa.

Kalau terpaksa Anda tersinggung, sudilah kiranya memaafkan perbuatan saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun