Puisi adalah cara manusia menciptakan fatamorgana dengan tenggelam di dalam nirwana. Mungkin dengan kalimat sederhananya adalah puisi merupakan cara manusia mengekspresikan emosi melalui kata-kata dengan memposisikan diri kita didalam posisi tersebut. Posisi yang seperti apa? Seperti ini, misalnya kita memposisikan diri seakan-akan kita yang paling sengsara, paling terluka, paling sedih, paling bahagia untuk bisa menciptakan suasana yang kental didalam kata-kata yang akan kita rangkai nantinya.
Menurut saya menulis puisi bukan hanya perihal merangkai kata, namun tentang bagaimana cara kita agar rangkaian kata tersebut dapat diubah menjadi sebuah rasa dan emosi yang disalurkan penulis kepada para pembaca, agar para pembaca dapat memaknai tulisan tersebut tanpa harus diberi penjelasan oleh si penulis. Dan semua orang bisa menulis puisi dengan ciri khas mereka masing-masing.
Bagi para kalangan remaja biasanya ide akan sangat cepat dieksekusi menjadi puisi ketika mereka sedang mengalami putus cinta, rindu kepada pasangan, ataupun saat sedang kasmaran. Tanpa sadar mereka mengubah hal tersebut menjadi sebuah karya puisi.
Bagaimana tahapan menulis puisi?
Menulis puisi sebenarnya tidak sulit dan seperti yang saya katakan sebelumnya, semua orang dapat menulis puisi dengan gaya mereka masing-masing. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui setiap penulis dalam menulis puisi seperti:
Tahap Menemukan Ide
Penulis biasanya akan membangun ‘suasana’ agar ide tersebut akan cepat didapatkan, seperti mencari tempat yang tenang, mendengarkan musik, meredupkan ruangan, merenungkan pengalaman yang pernah terjadi sebelumnya ataupun mengamati lingkungan sekitar. Setiap penulis mempunyai caranya tersendiri untuk membangun ‘suasana’.
Tahap Penulisan
Pada tahap ini dibutuhkan kreativitas, imajinasi serta intuisi penulis agar menciptakan suasana yang kental. Namun bukan hanya itu, pemilihan kata-kata dan diksi yang tepat akan mendukung dalam proses penulisan.
Tahap Perbaikan/Revisi
Penulis biasanya akan membaca kembali puisi yang telah diciptakan untuk merevisi beberapa kata yang sekiranya dianggap ‘kurang pas’ untuk mendapatkan suasana tersebut.
Beberapa Contoh Puisi
Bermula Di Atas Usia
Bagai mesin motor baru yang menderu
Tanpa sadar kau telah melangkah maju
Melangkah maju menuju periode ambigu
Garis waktu yang mungkin saja memupuk sendu
Atau mungkin bahagia dan tawa yang baru
Tirta amarta masih berada di ujung asumtif
Hirap langkah diburu pemikiran primitif
Dengan bangga kau meneriakkan pasif
Sedang lanun demagogi untuk subversif
Apa harimu mulai muram dan temaram?
Ini baru saja permulaan namun begitu kejam
Kau berjalan di atas lampu semesta yang kelam
Melangkahlah perlahan, nadir begitu curam
Mengapa kau duduk termangu di tepian jenggala?
Berlagak pilon seakan kakimu di ujung aksa
Kini semesta semakin gila dan anggara
Kemarilah, dan mulai bertarung dengan para perompak buana
Laju Permulaan
Delusi dan halusinasi semakin hari semakin liar
Pelik menggagahi langkah kaki menuju asumsi samar
Ilusi dan imaji di kepala entah mengapa begitu nanar
Teriak gonjak frustasi sayup-sayup merdu terdengar
Rangkuman asa menjelma segenggam mata belati
Bak lembu pincang di pecut bapak tua berpedati
Demagogi para perompak buana acap kali mengintimidasi
Angan dan kenyataan selalu saja membuahkan diskrepansi
Para nekrofagus bermuka dua dengan keras menampik
Merasa hebat dengan menjadikan semua satu titik
Murka di atas tatanan anggara meski hanya sekedar penilik
Kicauan ambisi bersenandung tangis dibawah alunan musik
Sebongkah harapan pupus bertemankan awan hitam
Seakan tak puas kehidupan menebar seribu hantam
Gejolak asa bangkit lalu kembali tertimbun kata “suram”
Langkah gontai kembali mengiringi cahaya tapak buram
Tak bosan-bosan bentala selalu berhasil membuatku naik pitam
Agnosia
Derap langkah mengantarku menuju gerbang kesunyian
Kala langit menghitam berlatar dansa para awan
Gonjak para merpati menusuk hampa relung kehidupan
Menyeret angan termangu mendamba sebuah tatapan
Malam temaram begitu indah kala dipandang
Bunyi yang sunyi berlumang di balik naungan malang
Kontradiksi jiwa dan raga bertengkar dengan tenang
Gagah berdiri dan menanti garis waktu yang bimbang
Senyap nan sepi bergaung di atas kepala seorang introver
Memendam hasrat yang terukir dalam sebuah folder
Diriku hanya sebatas gurauan komplementer
Imaji masih saja bergumam caci dalam gelombang atmosfer
Bilur tak sudah-sudah berhenti memangsa
Wajah hipokritku sangat mahir memainkan sebuah drama
Renjana samar-samar ku pendam dengan paksa
Namun apa daya angau selalu bisa membuatku nelangsa
Amerta
Bu, aku memulai langkah baru menuju dunia nyata
Seperti apa rasanya menjadi dewasa
Apakah dipenuhi warna warni atau hanya hitam dan putih
Aku tak sabar menyambut hari silih semilih
Bu, ternyata menyenangkan menjadi dewasa
Tidak lagi terikat pada bangku pendidikan yang menyiksa
Sudah tak harus bangun pagi untuk belajar
Tidak ada lagi tugas yang tak letih-letih mengejar
Bu, ternyata aku salah
Kini aku lebih mudah untuk sumarah
Hidup bukan lagi perihal tugas dan remedial
Namun tentang berhasil atau gagal
Bu, aku tak sanggup
Ragaku mulai letih dan jiwaku mulai sayup
Semua kawan sudah tak lagi mendampingi
Aku tetap mencoba tegar diatas kaki sendiri
Berusaha berjalan namun tetap saja stagnasi
Bu, aku ingin segera menyudahi
Dunia dipenuhi jutaan jiwa namun aku merasa sendiri
Langkahku mulai tertatih tanpa ada yang menyemangati
Bolehkah aku berhenti sejenak untuk berkontemplasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H