Perdaban pada masa modernisasi ini tidak dapat dihindari oleh masyarakat milenial, termasuk juga masyarakat muslim. Mayoritas masyarakat muslim di masa modernisasi kini terutama di Indonesia memiliki penurunan kualitas iman. Hal ini ditandai dengan maraknya kriminalisme yang terjadi di berbagai negara.
Walaupun tingkat kemanan suatu negara semakin hari semakin meningkat, kejahatan masih tetap terjadi dengan cara yang cukup cerdik. Hal tersebut terjadi atas dasar tingginya peran akal dan juga penyalah gunaan teknologi yang dapat menurunkan dan bahkan mencairkan iman manusia.
Akal pada masa ini memiliki peran yang cukup banyak, kebanyakan manusia berfikir dengan akal tanpa disadari akan iman. Begitupula dalam Ilmu Agama sangat banyak perkembangan dalam kemajuan ilmu Agama terutama agama islam namun disisi lain kwalitas keimanannya pun berkurang.
Aneka resep dan langkah perubahan pun telah banyak dilakukan. Ada yang mengambil sikap apatis atau acauh tak acuh atas kemajuan itu, mereka yaitu orang-orang yang terbuai oleh kejayaan pada masa lampau. Mereka inilah yang menghasilkan sesuatu yang dikenal dengan Adab Al-Fakhr wa At-Tamjid, yakni menunjuk zaman keemasan yang telah berlalu dan berbangga dengannya.
Ada juga yang berusaha menghadapi cabaran (tantangan) ini dengan pemurnian ama, seperti yang dilakukan oleh gerakan wahabiyah di Saudi Arabia, As-Sanusiyah di Libia dan Jamaah Islamiah di Pakistan. Mereka beranggapan pada masa Rasulullah SAW adalah masa terbaik berdasarkan Hadits (خيرالقرون قرني ) (sebaik-baik generasi adalah generasiku). Akibatnya, mereka berusaha mempertahankan apa saja yang diterima oleh Rasul tanpa mempertimbangkan factor budaya dan perkembangan positif masyarakat.
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam, yang juga merupakan kitab suci penutup ataupun pelengkap dari kitab suci yang ada sebelumnya, maka dalam hal ini Al-Qur’an memiliki peran penting dalam menangani masalah yang terjadi di kalangan masyarakat milenial muslim terutama di Indonesia.
Di dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 190-191 :
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
“190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirka tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya Rabb kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Dalam tafsir ibnu katsir , makna ayat “Inna fii khalqissamaawaati walardhi” (sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi” yakni langit dengan ketinggian dan keluasannya, bumi dengan kelandaian dan hamparannya termasuk benda yang ada pada keduanya yang merupakan tanda-tanda besar keagungan Allah. Kemudian kata “wakhtilaafillaili wannahaar” (dan silih bergantinya malam dan siang) yakni pergantian keduanya dan perbedaan panjang pendeknya yang terkadang memiliki perbedaan diantara keduanya. Semua itu adalah tatanan dzat yang maha perkasa lagi maha bijaksana.
Oleh karena itu Allah berfirman “liulil albaab” (bagi orang yang berakal) yakni akal yang sempurna lagi cerdik, yang memahami segala sesuatu dengan hakikatnya secara jelas, tidak seperti akal yang tuli lagi bisu yang tidak bekerja, yang mana Allah berfirman tentangnya, dalam surah yusuf ayat 105-106 yang artinya :