Tentang Penangan Pengungsi di Indonesia, Apakah Indonesia Wajib Melindungi?
Penangan pengungsi di Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden No. 125 tahun 2016 tentang Penangan Pengungsi Dari Luar Negeri. Perpres tersebut disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada tanggal 31 Desember 2016. Peraturan bukan adopsi dari Konvensi Wina 1951 dan Protokol 1967.
Dalam hal penangan pengungsi, pemerintah sampai saat ini belum menjadi negara pihak, yang meratifikasi konvensi tersebut. Indonesia belum bisa menetapkan status pengungsi bagi para orang yang lari dari negara asal mereka akibat konflik. Pemerintah pusat bekerjasama dengan organisasi internasional untuk menentukan status pengungsi.
Indonesia bersama United Nation of High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International of Migrations (IOM) bekerjasama dalam hal penangan pengungsi. Sebagai negara yang bukan menjadi bagian dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia bertanggung jawab jika ada pencari suaka berada di wilayahnya. Hal itu didasarkan atas Hak Asasi Manusia.
Sementara itu juga, konstitusi mengamanatkan bahwa Indonesia harus memberikan sumbangsih pada dunia dalam menciptakan ketertiban dunia. Permasalahan pengungsi merupakan permasalahan global. Data terakhir yang berhasil diambil, ada sebanyak 79,5 Juta di seluruh dunia terpaksa berlari dari negara asalnya. Seperti yang ditulis dalam artikel dari laman UNHCR berjudul "UNHCR Indonesia"
Lalu apa tanggungjawab UNHCR?
Dengan begitu UNHCR bertanggung jawab bersama negara-negara yang didatangi pengungsi untuk mencari solusi kepada para pengungsi. UNHCR berada di Indonesia sejak tahun 1979.
Saat itu Pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada UNHCR dalam membangun kamp pengungsian di Pulau Galang, untuk menampung lebih dari 170,000 pengungsi yang melarikan diri dari konflik di Asia Tenggara.
UNHCR sangat berperan dalam menetapkan status pengungsi bagi para pencari suaka. Dalam Perpres No. 125 tahun 2016 menjelaskan bahwa pengungsi memperoleh penanganan dam pertolongan.
Hal itu disebabkan karena belumnya Indonesia meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. Mereka yang berhasil mendapatkan diidentifikasi sebagai pengungsi berhak mendapatkan pertolongan dan perlindungan sesuai Perpres No.125 tahun 2016. Solusi yang biasa diberikan bagi pengungsi biasanya ditempatkan di negara lain yang sudah meratifikasi hukum internasional tersebut.
Dalam proses penentuan menjadi pengungsi, para pencari suaka harus terlebih dahulu registrasi dan daftar di UNHCR. Setelah melewati proses tersebut, pencari suaka akan dilakukan tes wawancara per individu. Proses wawancaralah yang menentukan para pencari suaka ini berhak dapat status pengungsi atau tidak.
Proses penentuan pencari suaka menjadi pengungsi hanya dapat dilakukan satu kali. Apabila permintaan menjadi pengungsi ditolak, pencari suaka berhak mengajukan banding satu kali. Demikian proses penentuan yang dilakukan UNHCR sangatlah ketat.
Perlukah Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut.
Apabila Indonesia telah meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka pemerintah tidak perlu meminta bantuan UNHCR dalam proses penentuan status pengungsi. Jika hal itu terjadi, Indonesia memerlukan Undang-Undang yang lebih komprehensif guna memberikan perlindungan yang lebih maksimal.
Apabila sekali waktu Indonesia kedapatan konflik internal, kemudian banyak warga berlarian ke luar negeri. Mereka akan mendapatkan perlindungan yang sama dengan perlindungan yang ada di Indonesia. Sebab, mereka meratifikasi konvensi tersebut.
Oleh sebab itu, dewasa ini konflik yang terjadi di Papua jangan sampai menjadi konflik yang berkepanjangan sehingga dapat menimbulkan konflik lainnya di daerah. Kondisi iklim politik serta krisis identitas bisa memicu konflik dalam negeri. Dengan meningkatkan persatuan dan persamaan hak antar sesama menjadi sangat penting.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H