Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toxic Positivity dan Kecerdasan Emosi

28 Juli 2021   19:54 Diperbarui: 28 Juli 2021   20:05 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menghadapi toxic positivity dari pixabay.com

Toxic positivity merupakan tanggapan yang diberikan atas penderitaan yang dialami seseorang dengan meminta seorang tersebut untuk selalu bersikap positif tanpa mempedulikan penderitaan yang dirasakan orang tersebut. 

Hal tersebut bukanlah hal baru dalam kehidupan bersosial, namun frasa Toxic Positivity ini baru familiar dalam beberapa tahun belakangan ini. Padahal Toxic Positivity merupakan bagian dari kajian psikologi yang berkembang akhir abad ke-19 dengan frasa Positive Psychology.

Dilansir dari Whiteboardjournal Martin Seligman (mantan presiden American Psychological Association/APA dan penulis buku Authentic  Happines) pada tahun 1998 menetapkan Positive Psychology merupakan domain baru keilmuan psikologi, sebagai respons atas sangat sedikitnya penelitian psikologi terkait kebahagiaan, well-being dan berbagai hal positif lainnya. 

Dengan segera Positive Psychology kemudian menjadi tren dan diadopsi dalam berbagai sektor termasuk pemerintahan, private sector, gerakan sosial, institusi pendidikan, pengelolaan SDM dan praktek-praktek psikologi tentunya. 

Di sisi lain, tentu banyak juga yang tidak setuju dengan konsep positive psychology karena seolah-olah menyangkal atau menghindari berbagai persoalan dan hal-hal negatif yang benar-benar terjadi. 

Ketika term "positivity" menjadi hal yang merugikan atau menjadi racun dalam kehidupan seseorang atau organisasi, maka itulah yang disebut sebagai toxic positivity.

Karena tidak mengindahkan hal-hal yang negatif di dalam diri kita sebagai manusia, kalimat "harus selalu positif."(contoh kalimat Toxic Positivity) mengandung racun yang berbahaya bagi kesehatan mental. Sejak pentingnya menjaga kesehatan jiwa, isu seputar kesehatan mental terus digaungkan oleh para aktivis, jurnalis bahkan sampai pelajar. 

Sejatinya kalimat yang mengandung unsur Toxic Positivity merupakan respon atas perhatian penderitaan seseorang, supaya mereka tidak terpuruk dalam penderitaan. 

Secara naluriah, rasa dendam atas penderitaan pasti muncul menjadi energi negatif. Energi negatif yang dipaksa untuk mengalah supaya menjadi energi positif akan menjadi dampak yang negatif bagi orang tersebut dikemudian hari.

Masih dilansir dari situs tersebut memberikan contoh mengapa kalimat positif bisa berdampak negatif. misalkan korban kekerasan seperti KDRT yang memilih bersikap positif dan memaafkan pelaku, dapat membahayakan dirinya sendiri karena pelaku dapat mengulang tindakan kekerasan, bahkan kemungkinan meningkat levelnya. 

Sehingga dorongan untuk berpikir dan bersikap positif perlu dilandasi berbagai pertimbangan akan resiko dan dampak yang terjadi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. 

Tidak ada salahnya memaafkan seseorang yang menyakiti kita akan tetapi maaf saja tidak serta menyadarkan orang atas perilaku jahat yang diberikan. 

Seseorang harus diberikan kesadaran supaya orang itu mengerti atas perbuatannya itu merupakan kesalahan, sehingga membuat orang lain terluka hatinya. Memberikan saran untuk tetap semangat saat kondisi sedang terpuruk sepertinya bukan ide yang baik, deh.

Kalimat positif bisa digunakan juga kok, asalkan kita bisa melihat situasi dan kondisi orang tersebut. Apabila orang tersebut dalam kondisi yang sangat bersemangat dan motivasi yang tinggi, lebih baik kita dorong dengan kalimat positif yang tidak mematahkan semangat orang tersebut.

Apresiasi atas proses perkembangan orang lain itu perlu dilakukan, energi positif ditambah dengan energi positif lagi akan menjadi energi double positif sehingga semangat akan terus membara.

Untuk itu mari tingkatkan kecerdasan emosional kita untuk dapat memahami emosi orang lain supaya mampu menanggapi emosi orang lain dengan bijaksana. Toxic Positivity akan dipelajari sebagai pedoman untuk menghargai perasaan orang lain. Beberapa  hal bisa dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosional.

Saya juga mengutip dari Hello Sehat bahwa meningkatkan kecerdasan emosional sangatlah penting, berikut beberapa cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional, yaitu Kurangi emosi negatif, Berlatih tetap tenang dan mengatasi stres, Berlatih mengekspresikan emosi yang tak mudah, Bersikap proaktif, bukan reaktif, saat berhadapan dengan orang yang memicu emosi Anda, Kemampuan untuk bangkit dari kesulitan dan Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dalam hubungan pribadi. 

Hal-hal tersebut mampu untuk membangkitkan kecerdasan emosional supaya kita bisa merespon hal yang toxic dan tidak merespon dengan toxic positivity.

Saya kira bahwa kesehatan mental sangatlah penting dipahami dan didiskusikan bersama orang terdekat seperti keluarga, sahabat, teman dan rekan di sekolah, kantor maupun di organisasi. 

Supaya mereka mampu menarik kesimpulan dari pembahasan Toxic Positivity. Dengan begitu kecerdasan emosional dalam ruang lingkup terdekat semakin bertambah seiring perkembangan ilmu psikologi. Inilah tujuan mencapai kebahagiaan bersama dengan menciptakan ruang lingkup yang tidak toxic positivity.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun