Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menjadi Artsy dari Teater

21 Maret 2020   06:07 Diperbarui: 21 Maret 2020   06:08 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Teater Kafe Ide

Sampai pada akhirnya dosen yang memberi materi sejarah teater datang lagi dan memberikan saya berita besar bahwa teater itu sudah tidak bisa disebut teater karena teater hanya tempat dan orang-orang Perancis sudah menyebut teater sebagai seni pertujukan. 

Entah saya harus percaya atau apa tapi yang jelas hati saya sepakat dan melunturkan kepercayaan teater sebagai induk dari pada kesenian. Karena teater adalah seni itu sendiri. 

Di kota saya menjalani kegiatan sakral ini (dulu teater adalah penyembahan untuk dewa dewi) tidak diberikan panggung khusus dan naungan khusus. Tidak adanya gedung teater yang memadai di Serang pun membuat pegiatnya harus memberikan  pementasan yang kurang apik juga dalam segi teknisnya. 

Dan analisis tersebut juga telah memberikan saya jawaban kenapa teater harus di kedai kopi ?. Postmodern juga menginginkan seni pertunjukan hadir kembali seperti pada awal ia ada yaitu sebuah persembahan terhadap hal-hal transendental dan lebih dekat kepada masyarakat.

Karena niat awal saya ingin berkelana di teater, ketika saya menjabat sebagai Direktur UKM ini saya berkeinginan keras mengikuti Festival Teater Mahasiswa Nasional di Medan. Saya menjadikannya proker. Dan ditahun 2019 saya dan teman-teman seperjuangan berhasil ke Medan. 

Naik pesawat dari Banten to Medan membawa pulang satu piala dan penghargaan sebagai tuan rumah berikutnya melalui bis dan kapal dan bis lagi supaya sampai di rumah. Ambisi saya tidak hanya sampai di Medan, tahun 2020 mungkin persiapan kami semua untuk menyelenggarakan acara tersebut yang diselenggarakan tahun 2021. 

Prinsip Bung Sjahrir pun saya terapkan dalam kehidupan "Hidup tidak akan kau menangkan bila kau tak berani mengutarakan", karena prinsip tersebut saya harus berani mengutarakan keinginan saya. 

Lewat teater saya ingin ini ingin itu banyak sekali. Yang saya ingin di kota menjadi kota yang menghargai kesenian setelah Bandung dan Jogja. Mungkin setelah itu saya akan ke Perancis mengunjungi makam Moilere yang meninggal di atas panggung dan pentas di Bordeaux, semoga tidak menjadi kemungkinan yang entah kapan terwujudnya.

Perkembangan teater sejauh ini masih kalah populer dengan musik, para pegiat seni pertunjukan kini telah menunjukan eksistensinya. Ia hadir dalam bar, kedai kopi, dan di demonstrasi. Sejauh mata memandang, kesenian kontemporer identik dengan humanisme. Humanisme memberikan pikiran mengenai estetika. 

Dalam buku Homo Deus yang ditulis oleh Yuval Noah Harari bahwa estetika humanis itu keindahannya ada pada penonton. Seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk mengatakan ini indah dan maknanya ini. 

Seni pertunjukan kontemporer membebaskan penonton untuk mengintrepretasikan suatu pertunjukan. Biasanya ia mengkritik lingkungan sekitar, pemerintahan, dan masalah internaional. Namun sangat amat minim yang mengkritik seni pertunjukan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun