Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menjadi Artsy dari Teater

21 Maret 2020   06:07 Diperbarui: 21 Maret 2020   06:08 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Teater Kafe Ide

Saya bersama teman-teman seperjuangan membacakan puisi dengan gerakan dan nyanyian. Aneh bukan main dan saya pikir berteater hanya bermain seperti disinetron-sinetron. Itulah pementasan pertama saya dan saya gugup bukan main. Setelah workshop selesai saya masih kepikiran apa maksudnya "Cinta".

Kedua, Resital. "UKM ini memiliki syarat bahwa kalau ingin menjadi anggota kami, kalian harus mengikuti Resital. Resital adalah pementasan produksi teater angkatan baru dan merupakan agenda wajib setiap tahun." 

Begitulah kata mereka pengurus UKM. Akhirnya saya memulai proses tersebut dengan olah tubuh, olah vokal, olah sukma dan belajar akting teori Stanislavski. Naskah "Dapur" diberikan kepada saya dan teman-teman. Diberi uang 500 ribu rupiah untuk memproduksi teater dan kebetulan saya Pimpinan Produksinya. 

Sebelum pentas di Auditorium Kampus A, Untirta saya melihat senior saya yang merupakan penggagas Komunitas Kembali sedang latihan teater, kemudian saya diajak untuk bergabung meski peran saya hanya mukul-mkul kaleng dan sampai pada detik ini saya tidak mengetahui apa maksudnya. 

Dan hari pementasan bersama Komunitas Kembali hadir, gugup bukan main dan saya kebingungan karena pementasan kali ini berada di kedai kopi. Coba bayangkan, ini sebenarnya teater apa sih, kok pentasnya bukan dipanggung. Ternyata setelah bertanya jenis teater ke sutradara saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya.

"Bang ini termasuk teater apa ? apa bisa dibilang teater surealis ?" tanya saya.

"Ya, bisa dibilang surealis atau apapun terserah. Tapi ini merupakan bentuk pemberontakan dari teater-teater konvensional." Jawabannya membuat saya semakin bingung dan menemukan kebingungan menjadi banyak. Pertama Teater itu kan harusnya dipanggung kenapa ini pentasnya di Kafe kedua Teater Konvensional. 

Akhirnya google, memberikan pengertian yang saya butuhkan. Teater ternyata mengalami perkembangan, yang di kedai kopi itu bisa dibilang Teater Eksperimental atau Seni Kontemporernya-lah dan yang Teater Konvensional adalah teater-teater yang memiliki aturan-aturan seperti teater realisme yang akan saya dan teman-teman pentaskan di Resital.

Hari pementasan Resital tiba. Saya melakukan proses selama hampir 5 Bulan. Proses tersebut dilewati dengan cinta dan duka lara. Diproses tersebut saya bisa mengerti cinta yang absurd itu dan penderitaan yang dialami karena cinta.

......

Dalam berteater saya mulai menyadari bagaimana manusia menyiapkan diri mereka sebelum  mereka melakukan interaksi sosial dengan sosayetinya. Teater juga membentuk karakter kritis dan mengkritisi lewat teater. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun